Bukik Setiawan, ketua Yayasan Guru Belajar, mengatakan, usaha untuk melakukan pemerataan pendidikan selama ini berujung membuat murid menderita belajar. Pasalnya, pemerataan hanya berfokus pada akses dan tidak dibarengi dengan kualitas.
“Kita mendikotomikan antara akses dan kualitas. Ketika membicarakan pemerataan pendidikan, biasanya hanya mengarah pada pemerataan akses. Apa yang terjadi kemudian? Dua puluh tahun terakhir ini memang peningkatan jumlah anak yang bersekolah tinggi, banyak murid yang bisa bersekolah, tapi semakin banyak juga murid yang menderita belajar,” terang Bukik.
“Buat apa kita mengirim murid-murid ke sekolah kalau hanya untuk membuat mereka menderita belajar?,” lanjut Bukik.
Bukik mengungkapkan, sejak lima tahun lalu, ia mendorong ekosistem di sekitarnya untuk melakukan pemerataan kualitas pendidikan, bukan hanya pemerataan akses. Ia menegaskan, setiap murid berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas, yakni pendidikan yang merdeka belajar.
Prinsip merdeka belajar, kata Bukik, tidak hanya eksklusif milik murid di perkotaan. Melainkan juga milik murid dan pendidik di berbagai daerah, termasuk di daerah pelosok. Ia menceritakan pengalamannya hidup selama 12 tahun di Papua membuatnya menyaksikan bahwa banyak praktik merdeka belajar yang disebutnya sebagai praktik baik di daerah pedalaman.
“Percaya deh, di setiap daerah selalu ada potensi, selalu ada praktik baik, dan selalu ada penggerak. Saya mendampingi guru dari berbagai daerah, ada yang dari Pesisir Selatan, Binjai, Sanggau, pasti selalu ada guru dan orang tua yang melakukan praktik pembelajaran merdeka belajar,” kata Bukik pada Rabu (8/6/2022).
Bukik menyampaikan kisah Wanti, seorang guru dari daerah pelosok yang Ia dampingi. Wanti, ungkap Bukik, harus mengendarai sepeda motor selama dua jam, lalu naik perahu, baru bisa sampai ke sekolahnya setiap hari. Awalnya, Wanti juga tidak percaya bahwa merdeka belajar juga bisa diterapkan di sekolahnya yang bahkan belum teraliri aliran listrik.
Wanti kemudian mempelajari praktik baik dari pendidik di pelosok daerah lain hingga menyadari bahwa kunci perubahan bukan sarana dan prasarana. Perubahan untuk kualitas pendidikan terletak pada guru, orang tua, dan kepala sekolahnya. Wanti, jelas Bukik, mulai mempraktikkan pembelajaran yang merdeka belajar.
“Terakhir Bu Wanti bercerita mengajarkan literasi melalui makanan lokal. Anak-anak diminta membawa makanan lokal, lalu mencoba rasanya, mendeskripsikan, membuat tulisan, hingga mempresentasikan nya. Bahkan sampai membuat riset bagaimana makanan tersebut dibuat,” tukas Bukik.
“Hanya dari makanan lokal, bisa menjadi aktivitas belajar selama beberapa minggu. Tentunya, aktivitas itu menumbuhkan kemampuan literasi karena menjadi percakapan sehari-hari antara dengan orang tua di rumah dan dengan guru di sekolah. Makanan lokal yang biasanya hanya selesai dimakan, tapi ini dipercakapkan, diriset, jadi hidup dalam kehidupan sehari-hari,” imbuhnya.
Bu Wanti menjadi guru penggerak yang sekarang telah menjadi kepala sekolah yang menggerakkan perubahan di sekolahnya.. Bukik menegaskan, itu menunjukkan kualitas pendidikan tidak bergantung para sarana prasarana melainkan pada kapasitas dan kemauan pendidik dan orangtua. (YMH)