Awal :
Saya adalah salah seorang guru sekolah dasar di kecamatan Linggo Sari Baganti kabupaten Pesisir Selatan. Pada tahun ajaran 2021/2022 saya mendapatkan amanat untuk mengajar di kelas satu. Saya sempat menolak dan meminta Ibu kepala sekolah memikirkan kembali tentang keputusan yang beliau ambil. Hal ini saya lakukan karena selama ini saya mengajar di kelas tinggi. Menurut saya waktu itu mengajar kelas satu sulit. Namun, setelah duduk bersama dan bermusyawarah akhirnya saya tetap diputuskan untuk tetap mengajar di kelas satu. Waktu tahun ajaran pun tiba. Dengan penuh semangat saya menyambut anak-anak kelas satu. Rupanya pada tahun ini murid kelas satu membludak. Jumlahnya mencapai 39 orang, hingga membuat saya kewalahan dalam pengelolaan kelas.
Satu bulan pembelajaran berlangsung, tetapi saya merasakan ada suatu ketidakpuasan dalam pembalajaran yang saya lakukan, salah satu penyebabnya adalah kesulitan dalam pengelolaan kelas karena jumlah murid yang banyak. Namanya anak kelas satu, bermacam ragam tingkah laku mereka. Yang lebih parah lagi ada yang memukul teman. Waktu itu memang rasanya perasaan bermacam-macam, kadang sedih, kadang senang, kadang marah yang harus ditahan. Bagaiamana mau marah takut nantinya anak-anak takut dan tidak mau sekolah. Jadi capeknya waktu itu tidak dapat dilukiskan, keringat yang selalu bercucuran di badan hingga membuat baju di bagian belakang sampai basah.
Saya pun menceritakan keluhan saya kepada kepala sekolah. Akhirnya didapatka keputusan untuk membagi kelas satu menjadi dua kelas. Satu kelas masuk pagi dan satu kelas lagi masuk siang. Sebagai guru kelas satu, saya sangat berkeinginan sekali agar anak-anak bisa membaca sebelum mereka naik kelas dua, Ya… paling rendah targetnya adalah mengeja. Saya tidak ingin nantinya guru kelas dua mengeluh karena disebabkan oleh banyaknya anak yang tidak pandai membaca. Kejadian seperti ini sering terjadi setiap tahunnya. Jadi saya punya keinginan yang kuat untuk memutus rantai tidak bisa membaca. Bahkan banyak ditemui di kelas tinggi anak yang belum lancar membaca. Sangat sering sekali guru di kelas tinggi mengeluh tentang adanya murid yang belum lancar membaca. Mereka mengatakan sangat sulit untuk menyampaikan materi kepada anak yang belum pandai membaca. Di setiap asesmen yang dilakaukan selalau tidak tuntas, Ya, bagaimana mau tuntas, sedangkan membaca saja belum lancar. Sungguh ironis apa bila hal ini dibiarkan terus menerus.
Namun saya merasakan murid saya tidak begitu semangat dalam belajar. Mereka ingin cepat selesai kalau dalam belajar. Mereka lebih suka bermain. Sementara saya ingin mereka fokus dalam belajar. Memang ini suatu kendala bagi saya, sebab saya selama ini mengajar di kelas tinggi. Mengelola murid yang berada di kelas rendah tidak sama dengan kelas tinggi. Saya berusaha searching di google bagaimana cara memahami murid di kelas satu. Saya mendapatkan informasi bahwa pada usia 2-7 tahun anak berada pada tahap praoperasional. Salah satu cirinya, mereka cenderung egonsentris dan sulit melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Hal yang kita anggap baik, belum tentu mereka anggap hal yang baik. Mereka belum memahami sudut pandang orang lain dan apa yang dirasakan oleh orang lain.
Mereka juga butuh pelibatan fisik dalam belajar serta suka dengan permainan. Mereka tidak bisa lama-lama mendengarkan kita menyampaikan materi. Hmm, begitu rupanya. Saya tidak bisa memaksa murid untuk mengikuti cara yang saya berikan. Seharusnya sayalah yang memahi cara belajar murid. Bukankah mereka yang belajar ?. Jadi berhak dong mereka menentukan cara belajarnya sendiri. Selama ini, hal ini lah yang terjadi. Kita selalu menyamaratakan murid. Padahal, murid-murid kita mempunyai profil dan karakteristik yang berbeda-beda. Sebagai seorang guru tentunya kita harus bisa mengidentifikasi kebutuhan belajar murid. Selanjutnya berusaha bagaimana kita mampu untuk memenuhi kebutuhan belajar mereka.
Saya pun berpikir bagaimana cara menciptakan pembelajaran yang menyenangkan bagi anak. Dengan salah satu cara menggunakan permaianan kartu Boboiboy dan robot sebagai media membaca. Ide muncul setelah saya melihat anak-anak setiap hari membawa kartu tersebut ke sekolah. Bahkan dalam belajar pun mareka masih main. Akhirnya saya merubah kartu Boboiboy tersebut sebagai media membaca. Langkah yang pertama saya lakukan adalah dengan menempelkan kata-kata di belakang gambar Boboiboy/robot. Kata –kata yang ditempel tersebut selalau saya update sesuai dengan tema pembelajaran. Hal ini bertujuan untuk lebih mengenalkan kosa kata baru sesuai dengan tema kepada anak. Selanjutnya saya ajak anak bermain kartu tersebut. Cara permainannya sama dengan permainan yang dilakukan anak-anak, Jika gambar bagian depan muncul berarti menang, dan jika gambar bagian belakang yang muncul berarti kalah. Ilustrasinya dapata dilihat sebagai berikut:
Kegiatan ini dilakukan setiap pagi sebelum materi pembelajaran diberikan. Murid sangat senang dengan permainan ini. Bahkan ketika saya lupa mengajak anak bermain mereka mengingatkan saya. Tanpa mereka disadari permainan kartu Boboiboy telah membantu murid dalam belajar membaca. Diakhir pembelajaran saya juga membiasakan mereka membaca kartu tersebut, tetapi tanpa permainan. Mereka memilih 2-5 kartu yang mereka suka, kemudian dilanjutkan membacanya dan didengarkan Ibu guru.
Perubahan:
Usaha tidak akan pernah mendustakan hasil. Sekecil apapun usaha yang kita lakukan, jikalau bersungguh-sungguh dan kontiniu tentu akan berdampak. Melalui permainan kartu Boboiboy ini sudah terlihat semangat murid dalam belajar. Yang paling menggembirakan adalah perkembangan membaca anak terlihat dengan signifikan. Ternyata memang anak-anak akan senang dalam belajar apabila aktifitas pembelajaran melibatkan hal yang dekat dengan dirinya. Salah satunya adalah dengan bermain. Kehidupan anak-anak sangat dekat dengan permainan, maka kita integrasikan permainan dalam pembelajaran. “Bu Guru, besok kita main lagi ya, permainan kartunya seru sekali Bu”, begitu ujar anak-anak.