Memperingati Hari Anak Nasional, Kampus Guru Cikal (KGC) mengadakan Instagram Live bertajuk “Teras KGC: Anak-Anak, Penerus Bangsa yang Harus Kita Jaga” pada Kamis (28/7/2022). Hadir Aisha Habir, co-founder PiBo, dan Ratno Kumar, guru SMK Muhammadiyah Pekalongan, sebagai pembicara.
Topik yang diangkat berangkat dari keresahan atas maraknya perundungan di sekolah. Sebelumnya, di lain kesempatan, Nadiem Makarim, Mendikbudristek RI, menegaskan, perundungan merupakan satu dari tiga dosa besar pendidikan yang harus diberantas.
Perlu inisiatif dan tindakan konkret berkelanjutan dari berbagai pihak. Lantas bagaimana peran guru memberantas perundungan di sekolah?
Meningkatkan Literasi Murid
Pelaku perundungan seringkali tidak menyadari jika mereka sedang merundung. Pasalnya, mereka tidak peka batasan mana saja yang bisa membuat orang lain tidak nyaman. Selain itu, penerimaan seseorang terhadap suatu ucapan atau tindakan mungkin berbeda dengan maksudnya.
Aisha menjelaskan, hal ini bisa dihindari dengan meningkatkan literasi murid. “Melalui cerita atau buku, murid banyak belajar dari yang tertulis maupun tidak. Misalnya belajar terkait emosi dari buku anak yang bergambar, kita bisa ajak diskusi anak dengan melihat mimik muka dari tokoh di buku itu. Kira-kira tokoh ini lagi sebel, sedih, atau bagaimana?,” tukasnya.
Dari hal ini, murid belajar melihat dari sudut pandang orang lain atau belajar berempati. Tidak hanya itu, membaca buku bisa membantu anak belajar mengidentifikasi emosinya. Dengan mampu mengidentifikasi, anak akan lebih dapat mengelola dan mengkomunikasikannya dengan baik.
“Di Indonesia, kalau mengkomunikasikan emosi negatif masih tabu. Bagaimana berkomunikasi atau menyampaikan hal dengan kata-kata yang baik daripada perbuatan (merundung) adalah proses literasi yang sangat panjang,” papar Aisha.
Guru, Tinggalkan Candaan Merundung!
Kumar mengaku, sebagai seorang guru, dirinya juga pernah melakukan perundungan ke murid tanpa sadar. Dengan tujuan mendekatkan diri ke murid, Ia memanggil salah seorang muridnya “pembalap” karena berkulit gelap. Panggilan itu membuat murid sekelas tertawa. Kala itu, Kumar menganggapnya hanya sebagai candaan.
“Guru pasti berusaha ya bagaimana cara mendekatkan diri ke murid. Tapi cara mendekatkan diri ini malah sebenarnya merundung. Tanpa sadar, kita tidak hanya melakukan perundungan, namun juga memberi contoh ke murid untuk juga melakukannya,” kata Kumar.
Lebih lanjut, jelas Kumar, masih banyak guru mendidik dengan dengan memakai cara pandang lama, yakni merasa punya kontrol atas murid. Hal ini menyebabkan guru lupa diri dan lupa batasan. Dengan alasan membentuk karakter, guru melakukan cara yang tidak tepat bahkan sampai merundung.
Mengenal Diri Sendiri
Kumar menegaskan, seseorang perlu tahu secara utuh siapa dirinya. Dengan mengetahui, maka guru dapat melakukan sesuatu secara lebih terukur. “Awalnya aku nggak paham kalau emosi dominan ku adalah marah. Ketika merespon sesuatu itu pertama marah dulu,” jelasnya.
Akibat belum mengenal dirinya, kala itu Kumar pernah merundung muridnya karena perasaan marah yang tidak terkontrol. “Aku ancam murid tidak naik kelas. Itu sebenarnya kekerasan, tidak hanya verbal tapi juga psikis,” kata Kumar.
Dengan mengenal dirinya sendiri yang mudah marah, Kumar memutuskan untuk belajar bagaimana mengelola emosinya tersebut.
Mengenal Murid dengan Lebih Baik
Aisha dan Kumar sepakat bahwa perundungan di sekolah bisa diminimalisir jika guru mengenal murid dengan baik. Tidak hanya mengenal namun bisa jadi sosok yang dipercaya murid-muridnya sebagai tempat bercerita.
“Misalnya kita tahu latar belakangnya adalah anak broken home, ini rawan kena stigma negatif. Kalau gurunya tidak bisa dipercaya, mereka mau lari cerita ke siapa? Kalau kita mendorong murid terbuka dengan guru, mereka tahu kalau bisa lari ke guru ketika kena perundungan,” pungkas Kumar. (YMH)