Belajar Menyenangkan Dan Bermakna Dengan Konsep Mading Mini Dan Praktik Nyata Negosiasi

Hubungan antara guru dan murid adalah hubungan yang bersumber dari hati, murni dan tulus. Sejatinya guru adalah sosok panutan dan sahabat bagi murid dalam mencurahkan kisah. Namun, saat murid menjauh dan tak ingin lagi berbagi cerita karena lama tak bertegur sapa secara langsung saat pandemi melanda. Apa respon kita? “Ah anak-anak memang seperti itu, tak ada motivasi untuk belajar dan mereka sulit dipercaya.” Nah, ini pernyataan  yang sering kita lontarkan. Lalu apakah kita akan membiarkan hubungan ini hambar begitu saja? Tanpa ada aksi untuk kembali memulai dengan lebih baik? Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Hubungan sejati akan kembali sejati dengan aksi memanusiakan hubungan.

       Ketika saya masuk kelas dan bercengkrama dengan murid, terlihat di wajah  mereka sejuta impian yang hendak teraih. Lalu apakah aksi kita sudah membantunya menuju impian itu? Era digital sekarang ini menuntut kita untuk hidup mengikuti perkembangan zaman. Jadi kita juga harus mengajar dengan mengikuti perkembangan zaman agar murid tidak merasa bosan di kelas dan mendapatkan pembelajaran yang bermakna. Apalagi setelah pandemi, semangat belajar murid nampaknya berkurang karena pembelajaran daring yang terus-menerus. Nah, bagaimana merangkul semangat murid saat kembali belajar di kelas? Yah, itulah tugas kita sebagai guru untuk menuntun murid-murid menjadi pribadi yang berdaya agar ia dapat hidup selamat dan bahagia.

       Kalau dulu zamannya hanya menulis di kertas, sekarang kita dapat menulis menggunakan komputer, laptop, dan ponsel. Kalau dulu cita-cita murid hanya ingin menjadi dokter, guru, polisi, TNI. Sekarang, cita-cita murid semakin beragam, ada yang ingin menjadi content cerator, youtuber, selebgram, artis, gamers, pebisnis, dan lainnya. Oleh karena itu, pembelajaran dengan hanya berbasis materi saja seperti yang biasa kita lakukan selama ini, tidaklah cukup mengantarkan murid untuk berdaya sesuai dengan minat bakatnya dan cita-citanya. Tiap murid memiliki keunikan masing-masing yang tak dapat dicap bodoh jika ia tak mampu menguasai materi pelajaran yang kita ajarkan. Seperti seekor ikan, apabila kita ingin mengujinya dengan memanjat, maka sampai kapan pun ia tak akan bisa. Sebaliknya, apabila kita mengujinya dengan berenang, maka sangatlah mudah baginya karena itulah keahliannya. Hal ini membuat saya merenung, strategi apa yah yang dapat saya lakukan untuk memberikan pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna?

       Pada semester ganjil tahun ajaran 2021/2022, diberlakukankah kembali pertemuan tatap muka di sekolah pada era new normal di tengah pandemi, meskipun masih terbatas. Murid masuk bergantian dengan intensitas pertemuan tiap mata pelajaran terbatas. Saya pun mengarahkan murid untuk berkelompok agar terjalin kolaborasi untuk saling membantu dalam belajar. Jadi, murid mengerjakan tugas di buku latihan secara berkelompok dengan tetap mematuhi protokol kesehatan terutama menggunakan masker. Namun, masih saja kolaborasi itu tak berjalan sesuai semestinya. Ada yang sibuk bekerja, ada yang diam saja tanpa aksi, ada yang sesekali memainkan ponselnya. Ditambah lagi dengan waktu yang terbatas, terkadang tugas tidak selesai dikerjakan di kelas hingga lanjut dikerjakan di rumah. Dari tugas kelompok menjadi tugas individu karena hanya satu orang yang bekerja. Jadi menimbulkan kesan kurang mengenakkan kepada murid yang bekerja seorang diri tanpa bantuan teman kelompok. Materi pun tak bermakna karena murid tidak menikmati proses dengan baik. Jadi, saya kembali berpikir bahwa yang saya lakukan ini, masih belum berdampak.

       Akhirnya, pada semester genap, saya mengajak murid melakukan refleksi pembelajaran pada semester ganjil dan membuat kesepakatan kelas termasuk konsep pengerjaan tugas. “Saya senang belajar bahasa Indonesia karena ibu selalu ceria jadi kita tidak kaku belajar. Tapi kurangi tugas yah bu, hehehehe.” Kata salah satu murid. Saya tersenyum membacanya sembari mengingat-ingat dan menyadari “iya yah, bahkan saya pun kewalahan memeriksa.” Lalu saya mengajak murid untuk mengerjakan tugas dengan konsep mading mini. Tugas tidak lagi dikerjakan pada buku latihan melainkan dengan konsep mading mini. Saya memperlihatkan contoh hasil karya murid sebelum pandemi. Yah, konsep ini telah saya terapkan sebelum pandemi dan membuat murid aktif di kelas tapi ada beberapa hal yang saya perbaiki dengan menyesuaikan keadaan murid sekarang. Mereka pun sepakat dan antusias, “wah keren bu, apa alat dan bahan yang perlu kita siapkan bu?” Sahut salah satu murid. Saya lalu mengajak mereka untuk mengamati gambar, “Kira-kira alat dan bahan apa yang perlu disiapkan?” Tanyaku kepada mereka.  Ada yang menjawab gabus mading, kertas manila, paku mading. Kemudian saya menambahkan, “Apakah tidak butuh gunting, lem, dan pernak-pernik sebagai hiasan?” Murid-murid pun menjawab, “oh iya, itu juga bu.” Mengingat waktu terbatas dalam sekali pertemuan, jadi agar murid dapat bekerja dengan waktu yang cukup memadai. Saya mengatur strategi pertemuan, di mana mata pelajaran Bahasa Indonesia dijadwalkan dua kali sepekan. Jadi, pertemuan  pertama memahami materi dan pertemuan berikutnya mengerjakan tugas untuk mencapai tujuan pembelajaran.

       Dalam konsep mading mini, murid bekerja secara berkelompok untuk menyelesaikan tugas. Namun, penilaian tidak sekadar pengetahuan atau kebenaran jawaban saja, tapi juga menilai kreativitas dan kerja sama tim. Murid-murid bebas menuangkan kreativitas unik dan menarik. Dengan demikian dapat mengasah keterampilan murid dalam berkreasi. Juga melatih diri untuk bekerja sama dengan orang lain, serta dapat bertanggungg jawab dengan tugas yang diemban. Dengan demikian, saya juga mengarahkan penugasan ini sebagai salah satu bentuk praktik nyata negosiasi sesuai dengan materi. Jadi, murid dapat memahami materi dengan menerapkannya secara langsung saat mereka berunding dengan teman kelompok.

       Saya juga bertanya jawab dengan murid. Pernahkah meminta tambahan uang jajan kepada orang tua? Pernahkah meminta uang kepada orang tua untuk membeli sesuatu? Pernahkah meminta sesuatu kepada kakak/adik? Pernahkah meminta tambahan waktu mengumpulkan tugas kepada guru?  Pernahkan menawar harga barang saat membeli? Pernahkah berunding dengan teman terkait pengerjaan tugas kelompok? Murid pun menjawab dengan antusias, “pernah bu.” Nah, saya memantik murid untuk menyadari bahwa itulah yang disebut dengan negosiasi. Mereka pun memahami bahwa negosiasi itu selalu mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. “Wah ternyata itu negosiasi yah bu, hampir tiap hari kita lakukan” Kata salah satu murid. Dan dengan sendirinya murid memahami bahwa tujuan mereka belajar negosiasi sangat berguna dalam  kehidupan. Mereka dapat mengetahui bagaimana menerapkan negosiasi dengan baik di lingkungannya. Nah, salah satu penerapannya adalah ketika mereka berunding dengan teman kelompok.

       Dengan konsep mading mini dan praktik nyata negosiasi, tercipta pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna di kelas. Saya melihat semua murid aktif bekerja sama dan menyelesaikan tugas dengan baik. Tak ada lagi yang memainkan ponsel ataukah hanya tinggal diam tanpa aksi. Semua murid saling membantu untuk menyelesaikan tugas. Ada yang menulis, menggunting, menempel, dan ada yang menggambar. Saya memberikan hak penuh kepada murid untuk membagi tugas kepada teman-temannya dengan dipandu oleh ketua kelompok. Selain mengerjakan tugas berbasis materi, mereka juga menerapkan konsepnya dalam kehidupan nyata. Yaitu saat berkolaborasi bersama teman kelompok terjadilah negosiasi. Dengan demikian, mereka dapat memaknai negosiasi dalam kehidupannya.

       Selama mereka bekerja, saya mengamati dan menanyai apa yang mereka kerjakan, serta memberikan penjelasan kepada kelompok yang nampak masih keliru atau kebingungan. Saya pun dapat mengetahui bahwa beberapa murid ternyata memiliki bakat menggambar dan berkreasi membuat lipatan-lipatan dari kertas. Juga ada murid piawai menjadi tutor sebaya kepada temannya. Dan setelah selesai, saya memberikan komentar dan penilaian. Tak lupa saya mengajak murid untuk bersama-sama melakukan refleksi pembelajaran. Mereka sangat senang dan antusias mengikuti pembelajaran. “Waktu itu saya pernah sakit bu, tapi karena ada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Jadi saya berusaha untuk tetap ke sekolah.” kata Daeliya. Juga ada yang berkata “Saya senang belajar dengan konsep mading mini karena kita seperti bermain.”

       Mereka juga tertantang mempraktikkan aksi nyata negosiasi yang tepat dalam kehidupan nyata, seperti saat berbelanja di pasar, meminta sesuatu kepada orang tua, meminta tolong kepada kakak/adik, atau di mana saja dan kepada siapa saja. Mereka memvideokan aksi nyata negosiasi yang dilakukan bersama dengan teman kelompok. “Suatu pengalaman yang menyenangkan bagi saya ketika melakukan negosiasi secara nyata bersama dengan adik saya, berkat kegiatan bernegosiasi tersebut saya menjadi lebih bisa membedakan yang mana pengajuan  dan yang mana penawaran.” Kata A.St. Aulia Rahmah. “Setelah saya melakukan praktik nyata negosiasi, saya mengetahui bahwa dalam bernegosiasi kedua belah pihak mempunyai hak terhadap hasil yang akan disepakati bersama serta negosiasi dilakukan dengan cara membujuk bukan dengan pemaksaan.” Sahut Alyanyala Syarifa.

       Saya menyadari, sangat penting untuk memberikan kesempatan kepada murid untuk memberdayakankreativitasnya bukan sekadar pengetahuan saja. Dan dengan sendirinya mereka dapat memaknai pelajaran yang diperoleh.Yah, meskipun tak dapat saya pungkiri bahwa masih ada beberapa kekurangan dari praktik baik yang telah saya terapkan tapi dari kekurangan inilah saya belajar dan berefleksi diri. Diantaranya, saya belajar bahwa sangat penting bertanya kepada murid mengenai batasan waktu pengerjaan tugas karena mereka yang bekerja, bukan menentukan batasan waktu kepada murid. Dan  seharusnya, saya memberikan penilaian dengan catatan deskripsi mengenai tingkat perkembangan murid saat bekerja, apakah berkembang, sedikit berkembang, atau sangat berkembang supaya ada deskripsi perkembangan murid yang terarah, bukan sekadar memberikan penilaian dengan angka saja.

Saya pun memperbaiki apa yang menjadi refleksi dari aksi yang saya terapkan. Ternyata, mengajak murid terlibat dalam menentukan waktu penyelesaian tugas, mereka lebih bertanggung jawab untuk menyelesaikan tepat waktu, tidak lagi merengek-rengek minta tambahan waktu. Dan dengan memberikan umpan balik kepada mereka dengan menyampaikan catatan perkembangan melalui kata-kata bukan sekadar angka, mereka lebih antusias. Dan untuk memantik semangat mereka, saya memberikan kata-kata motivasi.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top