Awal tahun 2015, saya janjian ketemu dengan dua pendidik perempuan, Najelaa Shihab dan Tari Sandjojo di sebuah cafe di pusat Jakarta. Sambil sesekali menghirup minuman, kami membicarakan berbagai kemungkinan kerjasama untuk melakukan perubahan pendidikan. Hasil pembicaraan tersebut, saya bergabung di Cikal.
Saya bergabung di Cikal sejak 1 Mei 2015, tepatnya di Lifelong Learning – School of Education (LLE), lembaga Cikal yang bergerak melakukan pelatihan guru, yang sekarang lebih dikenal sebagai Kampus Guru Cikal. Peran saya sebagai Manajer Pengembangan yang bertanggung jawab melakukan persiapan pendirian pendidikan S1 guru. Sebuah rencana yang sampai saat ini masih menjadi rencana karena terkendala moratorium ijin pendirian pendidikan keguruan. Cerita awalnya bisa dibaca di sini.
Pada awalnya, komitmen saya bertahan di Cikal adalah dua tahun, dengan asumsi tanggung jawab bisa selesai dalam 2 tahun. Sekarang sudah lebih dari 3 tahun dan saya memilih bertahan di Cikal. Apa yang membuat saya bertahan di Cikal? Judul tulisan ini adalah jawaban singkatnya, belajar menjadi guru belajar. Jawaban panjangnya akan saya coba uraikan
Belajar pendidikan menumbuhkan
Ketika dikenalkan dengan tim Cikal, biasanya saya dikenalkan sebagai penulis buku Anak Bukan Kertas Kosong dan tentu ada ekspresi kagum. Padahal ketika saya mengikuti Foundation Training, pelatihan untuk tim baru Cikal, saya justru belajar banyak sekali tentang pendidikan menumbuhkan. Belajar pendidikan bukan dari para ahli, tapi dari guru yang mempraktikkan pendidikan menumbuhkan setiap hari. Apa yang dulu menjadi angan-angan ideal, saya saksikan di kenyataan. Pengalaman tentang Fondation Training bisa dibaca di sini.
Saya belajar disiplin positif, pendekatan untuk menumbuhkan kedisiplinan tanpa hukuman dan sogokan. Saya belajar strategi inkuiri, pendekatan untuk memandu murid menemukan pemahaman yang esensial. Saya belajar diferensiasi, pendekatan untuk mengembangkan cara pengajaran yang beragam berpusat pada murid. Saya belajar asesmen, pendekatan untuk memberi umpan balik pada murid dan guru sepanjang proses belajar. Saya belajar service learning, pendekatan untuk memandu murid menyelesaikan persoalan nyata di kehidupan. (Di kemudian hari, poin-poin yang saya pelajari ini disebut sebagai Cara Mengajar 5M).
Jangan bayangkan kerumitannya. Saya belajar hal sederhana. Dulu ketika jadi fasilitator, saya mengajak peserta yang orang dewasa melakukan refleksi. Ternyata di Cikal, saya dibuat kagum dengan hasil refleksi yang dilakukan murid, bahkan pada kelas kecil. Saya baca hasil refleksi para murid yang ditempel di dinding kelas, dan membayangkan semangat belajar dibalik tulisan tersebut.
Saya belajar dari sebuah sekolah yang bisa memberi contoh baik untuk guru maupun sekolah yang lain.
Belajar bersama guru dari penjuru nusantara
Saya lupa persisnya, tapi yang jelas di antara sejumlah obrolan dengan Najelaa Shihab, tercetus gagasan mengembangkan komunitas guru. Satu kalimat yang saya ingat, “Kita ingin anak-anak di seluruh Indonesia bisa mendapatkan pendidikan berkualitas seperti Cikal, dengan maupun tanpa harus masuk Cikal”. Dari cita-cita itu, Cikal menginisiasi komunitas guru yang disebut Komunitas Guru Belajar. Namanya sederhana, tiga kata esensial yang menggambarkan cita dan cara. Cita dan cara yang dirumuskan dalam buku Panduan Komunitas Guru Belajar 1.0.
Saya pun mulai menghubungi teman-teman yang menjadi guru di berbagai daerah. Saya jelaskan misi komunitas, manfaat dan aktivitasnya. Seorang teman di Sorowako, Bu Hesti, tertarik bergabung dan mengadakan Temu Pendidik pertama yang mengikuti Panduan Komunitas Guru Belajar. Saya berangkat ke Sorowako melalui dua penerbangan. Kisah Temu Pendidik Sorowako bisa dibaca di sini.
Kiprah Komunitas Guru Belajar Sorowako menjadi bahan cerita sehingga akhirnya beberapa teman tertarik dan terlibat dalam pendirian Komunitas Guru Belajar. Mereka bersama rekan guru yang lain dari 10 daerah pada akhirnya ikut deklarasi pendirian Komunitas Guru Belajar yang dilakukan pada Temu Pendidik Nusantara 2015. Dan semenjak itu, saya melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk belajar dari guru, seperti ke Pekanbaru, Maluku, Makassar, Sinjai atau safari 6 kota di Jawa Timur. Beberapa perjalanan memang penugasan resmi dari Cikal, beberapa perjalanan adalah agenda pribadi yang saya selipin agenda Komunitas Guru Belajar. Sekali mengayuh, dua tiga pulau terlampui 🙂
Saya belajar dari guru tentang keterbatasan, kerumitan administrasi, dan resiko politik. Saya belajar bagaimana segala kesulitan tersebut tidak meruntuhkan semangat belajar. Saya berjumpa dengan guru-guru yang sama sekali berbeda dengan sosok guru yang ditampilkan di media atau jadi bahan obrolan di media sosial. Sosok di media dan media sosial seringkali menampilkan guru yang tidak berdaya, layak dikasihani dan butuh bantuan. Saya justru menemui guru berdaya, penuh perjuangan, dan butuh teman seperjuangan. Bagi saya pribadi, sebuah kehormatan bisa menjadi teman perjalanan para guru berdaya tersebut.
Dalam sebuah obrolan dengan Najelaa Shihab, saya merevisi komitmen saya, “Saya berkomitmen dua tahun di Cikal, tapi menjadi teman perjalanan Komunitas Guru Belajar adalah komitmen saya sepanjang hidup”.
Belajar menghadapi tantangan perubahan
Saya bocorkan rahasia Cikal……..Cikal itu bukan lembaga yang sempurna, banyak hal yang perlu diperbaiki dan dikembangkan lagi. Meski tidak sempurna, Cikal adalah lembaga yang selalu belajar. Setiap tahunnya ada saja inisiatif perubahan yang dilakukan, minor maupun mayor, improvisasi maupun inovasi. Dan setiap kali inisiatif perubahan, setiap kali pula kesempatan bagi semua anggota, bisa terlibat di dalamnya. Sepanjang tahun yang saya alami, sepanjang itu pula saya mendapat tantangan perubahan.
Saya beri contoh sederhana yang tampak mata, Temu Pendidik Nusantara. Pada tahun 2014, LLE (sebelum menjadi Kampus Guru Cikal) mengadakan konferensi pendidikan sehari, gabungan seminar dan kelas lokakarya. Pada tahun 2015, konferensi tersebut berubah nama menjadi Temu Pendidik Nusantara, dengan format yang relatif tetap. Pada tahun 2016, Temu Pendidik Nusantara resmi disebut sebagai Konferensi Tahunan Komunitas Guru Belajar. Formatnya masih sama, seminar dilanjutkan dengan kelas lokakarya, hanya jumlah hari bertambah, kelas bertambah, peserta bertambah dan Komunitas Guru Belajar daerah yang terlibat pun bertambah. Kisah TPN 2016 bisa dibaca di sini.
Temu Pendidik Nusantara 2017 menjadi semakin jelas arahnya, kegiatan untuk pengembangan guru. Bila sebelumnya, seminar dengan pembicara kunci di awal kegiatan dengan asumsi memancing minat peserta, maka seminar di TPN 2017 digeser menjadi penutupan, karena ternyata guru hadir lebih didorong untuk kemajuan belajar dan berkolaborasi dengan sesama guru, dibandingkan berjumpa pembicara kunci. Jenis dan format kelasnya pun mengikuti Kerangka 4 Kunci Pengembangan Guru: Kemerdekaan, Kompetensi, Kolaborasi dan Karier. Setiap jenis kelas menggambarkan tahapan dan memenuhi kebutuhan berbeda dalam perjalanan karier seorang guru. Jadi bila dulu, guru cukup puas dengan menjadi pelatih di kelas lokakarya, kini masih ada dua kunci lainnya, kolaborasi dan karier. Perubahan mendasar ini mendapat respon luar biasa dari peserta. Pecah!
Tahun ini, Temu Pendidik Nusantara akan diadakan pada 5 – 7 Oktober 2018 yang akan mengusung format yang lebih baik lagi dalam menjawab kebutuhan guru untuk pengembangan dirinya. Bocorannya, ada Pameran Karier yang menjadi ajang buat guru menampilkan dan menawarkan karya guru dalam bentuk produk maupun layanan. Lengkapnya nantikan di situs Temu Pendidik Nusantara 2018 🙂
Bayangkan perubahan dari sebuah kegiatan saja begitu dinamisnya, padahal Cikal ada banyak sekali aktivitas dan kegiatannya. Tantangan tersebut yang membantu saya belajar untuk menjadi dan tetap menjadi pelajar merdeka, orang yang selalu berinisiatif dan mengatur sendiri tujuan, cara dan refleksi belajarnya. Tanpa menjadi pelajar merdeka, pasti saya sudah menderita dan mengakhiri komitmen saya di Cikal 🙂
Belajar menjadi pemimpin belajar
Sejak sebelum lebaran sudah mendapat kabar, dan pada awal Juli 2018 ini saya mendapat tantangan belajar baru, menjadi pemimpin di Kampus Guru Cikal. Sebagaimana konsekuensi berada di Cikal, selalu menjadi pelajar merdeka, menjadi pemimpin bukan saja mengatur pekerjaan, tapi juga mengatur proses belajar anggota timnya. Ini tantangan lama sebenarnya, tapi dulu ketika memimpin lembaga di sebuah kampus, saya masih merasa belum berhasil menjadi pemimpin belajar. Target finansial tercapai, tapi organisasi tidak belajar sehingga perubahan tidak berkelanjutan.
Menjadi organisasi belajar memang dilema, ditengah rutinitas mengejar target pekerjaan, tetap perlu mengalokasikan waktu untuk belajar, bukan saja secara individual, juga secara organisasi. Pemimpin belajar akan selalu menghadapi dilema. Dalam sebuah buku, ada kutipan menarik, “Rutinitas itu seperti lalat, meski tidak diharapkan akan tetap membuat kita sibuk untuk mengusirnya”. Itulah tantangan yang kini saya hadapi, menjaga keseimbangan organisasi untuk bekerja sekaligus belajar. Bukan hanya memberi perintah belajar, tapi menjadi bagian dari belajar itu sendiri. Sebagaimana tulisan ini adalah bagian kesepakatan tim Kampus Guru Cikal untuk melakukan refleksi setiap hari Jumat.
Itulah 4 mengapa saya tetap bergabung di Cikal, belajar menjadi guru belajar. Semoga kehadiran saya bisa berkontribusi buat Cikal dan lebih luas lagi buat Komunitas Guru Belajar yang kini telah ada di 145 daerah.
Sekali merdeka, tetap merdeka belajar!
Bukik Setiawan