Belajar Memanusiakan Siswa

Mengutip dari apa yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia bahwa tujuan pendidikan adalah menuntun segala kodrat pada anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu pendidikan adalah sarana mengantarkan anak untuk lebih mengenali apa yang ada pada dirinya, mengembangkannya dan mengarahkannya agar siap menjalani kehidupannya. Dalam proses belajar, murid tidak hanya sebagai obyek, tetapi juga menjadi subyek dan mengenali murid adalah penentu pencapaian target belajar.


Proses belajar harusnya dilalui dengan sadar tanpa ada tekanan. Ketika belajar memunculkan sebuah tekanan maka kenyamanan dalam belajar akan terganggu sehingga proses menuju pencapaian target belajar juga tidak maksimal. Hal tersebut harus dipahami oleh Kepala Sekolah yang merupakan dirijen dalam memimpin orkestrasi kegiatan belajar di sekolah untuk mencapai keberhasilan murid. Kepala Sekolah seharusnya menciptakan iklim dan ekosistem menyenangkan dalam lembaga pendidikannya, menciptakan kondisi sekolah sebagai tempat yang dinantikan dan dituju dengan kegembiraan.


Ekosistim yang tertata bisa menjadikan kondisi nyaman dan aspiratif. Hal ini harus dikondisikan dari kebijakan kepala sekolah dan pelaksanaan pembelajaran oleh guru. Ketika kondisi tersebut tercapai, diharapkan murid dapat belajar dengan sepenuh hati. Murid diharapkan menjadikan belajar adalah sebuah kebutuhan yang tidak dengan keterpaksaan tetapi dengan penuh kesadaran. Murid juga akan tumbuh rasa percaya diri untuk menyampaikan pendapat.


Kondisi tersebut belum terlaksana di sekolah saya yaitu, MTs Ma’arif Tuban. Masih banyak guru yang berada di zona nyaman dan rasanya tidak mungkin untuk diubah. Ditambah lagi kebijakan sekolah yang tidak punya arah atau tujuan yang jelas dalam target capaian belajar murid. Saya sangat sadar bahwa murid yang hadir di sekolah membutuhkan empati dan perhatian dari guru.


Sebagai kepala sekolah baru di MTs Ma’arif Tuban, saya berusaha mengubah paradigma masyarakat yang dinobatkan kepada murid saya. Saya terpacu untuk membuat siswa ketika selesai belajar di MTs Ma’arif Tuban memiliki bekal kemampuan yang mungkin bagi orang lain bukan apa-apa tapi bagi siswa menimbulkan kesadaran bahwa dia sudah mencapai pencapaian terbaik dan sadar akan selalu meningkatkan kemampuannya.

Dengan kebijakan yang diambil oleh sekolah yang untuk merubah cara pembelajaran, diharapkan guru dapat merubah pandangan terhadap siswa. Merubah cara pengajaran yang lebih menghargai siswa. Dan merubah cara pandang guru yg selama ini ada yaitu hanya menyelesaikan materi di buku tanpa memperhatikan pendapat dan keinginan siswa. Serta guru secara sadar memiliki kebiasaan positif sebagai pengajar dan pembelajar.

Kondisi di MTs Ma’arif Tuban sangat jauh dari fokus pada pencapaian tujuan belajar. Bagi guru siswa hanya dianggap sebagai obyek sebuah kegiatan atau pekerjaan. Pemangku kebijakan juga menganggap sekolah hanya sebagai tempat sarana bekerja. Hal tersebut harus dirubah kembali pada tujuan belajar sehingga salah satu faktor kemerosotan peserta didik di sekolah yang merupakan imbas ketidakpercayaan masyarakat dapat ditangani.

Tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan perubahan kebiasaan belajar di MTs Ma’arif Tuban telah lamanya aktifitas pembelajaran sekedarnya dilalui. Ketika aktifitas sudah menjadi kebiasaan rasanya sangat sulit memulainya. Guru yang biasanya masuk kelas dengan langsung menjelaskan atau ceramah sampai hampir satu setengah jam tanpa pernah menanyakan apa perasaan siswa sangat sulit untuk diajak merubah caranya. Guru yang sudah terbiasa sekedarnya saja dalam penilaian atau asesmen sangat merasa ribet jika diajak memulai tahapan-tahapan asesmen. Kolaborasi antar guru juga belum terjalin dengan baik.

Untuk merubah kebiasaan yang selama dijalankan oleh para guru, saya sebagai kepala sekolah melakukan beberapa langkah:

1.   Mengajak komunikasi guru melalui rapat dan secara individu tentang apa yang dia pahami perihal pribadi-pribadi siswa.

2.   Menyampaikan betapa pentingnya memahami siswa sebelum melaksanakan pembelajaran.

3.   Mensosialisasikan tentang asesmen non kognitif dan kognitif kepada para guru yang berbasis pada siswa.

Pada awal komunikasi tentang pembelajaran yang diawali dengan memahami siswa, para guru merasa itu adalah tindakan sia-sia karena menganggap siswa yang ada di MTs Ma’arif  Tuban adalah dalam kasta rendah dalam tingkat kemampuan akademis berdasarkan nilai yang tersaji di hasil ujian siswa pada jenjang sebelumnya. Tapi dengan penjelasan yang perlahan dan diajak untuk memahami esensi manusia, secara perlahan-lahan mulai merubah pandangannya tentang siswa. Bahkan ada guru yang sempat menitikkan air mata ketika mengingat kembali bahwa selama ini menganggap siswa hanya target biar tunjangan sertifikasinya lancar. Ada juga guru yang baru menyadari bahwa ada siswa yang memiliki kemampuan yang diluar nalar anak pada umumnya. Disamping itu guru juga terkesima ketika tahu bahwa sebenarnya tingkat pendidikan dan ekonomi orang tua siswa banyak yang dibawah standar setelah melaksanakan asesmen non kognitif.

Dengan perubahan sikap guru dalam proses pembelajaran siswa merasa kaget pada awalnya. Mereka merasa diperhatikan dan dekat dengan gurunya. Merasa mulai berani menyampaikan kesulitannya dalam memahami materi belajar dan menikmati cara mengajar gurunya. Bahkan ada siswa yang mengatakan, “Bu Guru sangat baik sekali saya belum bisa perkalian tapi diajarkan perkalian yang seharusnya saya kuasai di SD, kok bisa gitu ya?”. Dan perhatian dan proses memahami siswa ada juga siswa yang  mulai berani bercerita bahwa “Dia tidak ikut didaftarkan di sekolah negeri secara kolektif oleh Guru SD nya karena gurunya bilang kalau dia anak yang bodoh dan kemapuan ekonominya dibawah rata-rata, akhirnya dia disuruh mencari sekolah sendiri”. Dan dengan perhatian dan kedekatan guru kepada siswanya tersebut siswa merasa Gurunya adalah orang tua keduanya yang mungkin lebih terbuka lagi dalam berkeluh kesah dibanding kepada orang tuanya.

Dari cara belajar yang memahami siswa atau memanusiakan manusia dalam kebijakan proses belajar sehingga dapat keseimbang antara memberi dan menerima. Guru memberikan ilmu atau proses belajar dengan memahami kebutuhan siswa sehingga siswa menerima apa yang diberikan guru dengan senang hati. Guru memiliki kesadaran untuk bisa mengontrol keinginan berlebihnya untuk sekedar menyelesaikan materi. Bagi sekolah proses pembelajaran yang dilakukan tersebut dapat memberikan pembiasaan yang baik dalam proses belajar dan menumbuhkan rasa percaya masyarakat bahwa MTs Ma’arif Tuban telah merubah cara dalam mendidik siswa.

Meski tatanan telah dibuat sebaik-baiknya tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua guru dapat merubah cara melaksaakan proses pembelajaran. Tapi hal itu tidak menyurutkan saya sebagai kepala sekolah untuk selalu merefleksi dan mengkomunikasikan secara individu kepada guru-guru tersebut. Dengan memberikan pemahaman dan memberikan referensi untuk dapat dipelajari guru-guru. Mengajak guru untuk kolaborasi atau belajar bersama dengan lembaga pendidikan atau sekolah lain yang telah menjalankan proses belajar yang memanusiakn manusia.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top