Pengalaman mengajar siswa kelas 1 SD Manaaratul Iman HIIS di masa pandemi, terutama saat peralihan dari pembelajaran online ke offline, adalah pengalaman yang cukup berbeda dari biasanya. Ada perbedaan antara kelas 1 SD di masa pandemi dengan kelas 1 di masa sebelum pandemic. Berdasarkan pengalaman saya, siswa kelas 1 SD di masa pandemi lebih menunjukkan ketidaksiapan dalam hal belajar secara klasikal dan struktural, baik kesiapan dalam sikap belajar maupun kesiapan kognitifnya untuk mencapai tujuan akademik di Sekolah Dasar.
Hal ini dikarenakan minimnya interaksi saat TK karena belajar secara online. Selain itu cukup banyak juga orangtua yang memutuskan untuk tidak memasukkan anaknya ke TK dan langsung mendaftarkan ke SD karena merasa rugi bila memasukkan anaknya ke TK dengan biaya mahal namun belajarnya online dan hanya untuk kurun waktu 1-2 tahun saja. Sehingga, cukup banyak juga siswa yang belum mendapatkan stimulasi yang cukup di usia pra sekolahnya yang bisa mendukung kemampuan belajarnya di SD. Diantaranya seperti pengetahuan dasar numerasi dalam membilang dan kemampuan dasar literasi seperti membedakan bunyi fonem, bahkan belum bisa membedakan bentuk huruf.
Dalam kesempatan ini saya ingin membagikan pengalaman saya mengajar matematika kelas 1 SD di masa pandemi. Sebagaimana yang yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa sebagian besar anak-anak di kelas yang saya ajar masih belum menunjukkan kesiapan yang penuh untuk belajar. Namun bagaimanapun, ketika sudah memasuki jenjang Sekolah Dasar tentu saja ada target pembelajaran yang harus dicapai oleh anak-anak.
Proses belajar di kelas 1 SD adalah waktu yang sangat penting karena disitulah waktu untuk membangun dasar fondasi konsep belajar pada anak, dan juga merupakan masa peralihan dari yang asalnya lebih banyak waktu bermain di sekolah dengan target belajar hanya berupa stimulus-stimulus pra sekolah, namun sekarang ada juga target akademik yang harus dicapai oleh anak-anak di kelas 1 SD. Misalnya, di pelajaran matematika bukan hanya kemampuan menghitung tapi mereka juga harus mengenal konsep nilai tempat yang mungkin masih merupakan konsep abstrak bagi mereka.
Dengan karakteristik anak-anak yang sangat senang berbicara karena antusiasme belajar secara offline, masih dengan pemikiran sangat imajinatif, kosakata terbatas, dan kebutuhan gerak yang tinggi, tentu saja saya harus menyiapkan pembelajaran yang bisa menyesuaikan dengan karakteristik anak-anak tersebut. Dalam mengenalkan konsep matematika nilai tempat puluhan dan satuan pada anak-anak, saya menyiapkan sebuah alur cerita yang kemudian akan di roleplay kan oleh anak-anak. Alur cerita yang saya buat cukup secara garis besarnya saja, karena detail informasi dalam cerita akan dibuat oleh anak-anak untuk memfasilitasi kebutuhannya mengungkapkan ide-idenya.
Sebelum masuk ke dalam cerita saya membagi anak-anak ke dalam beberapa kelompok beranggotakan 3-4 orang. Lalu saya mulai menceritakan kisah tentang seorang Raja yang ingin membangun sebuah istana. Saya memberikan kesempatan pada anak-anak untuk menentukan nama kerajaan dan nama Raja nya. Kemudian anak-anak sepakat memakai nama Raja Zamrud dari Kerajaan Bilangan. Saya sendiri berperan sebagai pembawa pesan Raja yang meminta bantuan para Prajurit untuk mengumpulkan batu bata untuk membangun istana. Saya meminta kesediaan anak-anak untuk menjadi Prajurit yang membatu Raja mengumpulkan bata. Mereka pun sangat bersemangat untuk menjadi Prajurit yang membatu Raja Zamrud. Saya sudah menyiapkan alat peraga berupa gigo sebagai batu bata nya di berbagai sudut kelas. Saya pun menyampaikan instruksi Raja Zamrud yang paling penting, yaitu dalam mengumpulkan batu bata harus disusun persepuluh, tidak boleh kurang ataupun lebih. Untuk bata yang jumlahnya kurang dari sepuluh harus dibiarkan lepas satu persatu, dan tidak boleh disusun. Instruksi ini beberapa kali saya ulang karena merupakan kunci dalam pembelajaran nilai tempat.
Kemudian secara bergiliran setiap Prajurit dalam kelompok dipersilakan untuk mengambil sejumlah bata (gigo) dengan ketentuan sejumlah 0-10. Disini anak juga diberikan kesempatan untuk menentukan alur cerita dengan mengambil bata (gigo) sejumlah yang mereka mau. Setelah semua Prajurit dalam kelompok mendapatkan kesempatan untuk mengambil bata, lalu mereka menggabungkan semuanya. Saya meminta anak-anak untuk menghitung dengan membilang satu-persatu bata yang telah terkumpul, dan menyusunnya berdasarkan pesan dari Raja. Saya kembali berkali-kali menegaskan “Hai , Para Prajurit! Jangan lupa ya untuk menghitung dan menyusun bata sesuai dengan pesan Raja! Apa tadi pesannya?” dengan bertanya seperti itu sebetulnya saya juga sekalian mengecek apakah anak-anak sudah paham dengan aturan menghitungnya ataukah belum.
Setelah anak-anak menyusun bata yang tersusun dengan persepuluh dan satuan, saya meminta mereka untuk menyimpan bata tersebut di tabel puluhan dan satuan. Bata harus tersusun sesuai dengan kategorinya untuk yang puluhan disimpan di kolom puluhan, dan bata yang satuan disimpan di kolom satuan. Setelah itu setiap kelompok mengitung berapa total batu bata yang dikumpulkan setiap kelompok Prajurit. Setiap kelompok mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan jumlah bata nya, kemudian semua kelompok bersama-sama mengidentifikasi berapakah nilai puluhan dan satuan pada jumlah bata yang telah berhasil dikumpulkan.
Di akhir pelajaran kita sama-sama melakukan review dan refleksi dari pelajaran yang telah kita pelajari sama-sama hari itu dengan memberikan pertanyaan :
- Apa yang sudah kita pelajari hari ini?
- Apa aturan yang diberikan oleh Raja Zamrud kepada para Prajurit?
- Apa yang dimaksud dengan puluhan dan satuan?
- Mengecek kembali identifikasi puluhan dan satuan dari 1-2 bilangan.
- Bagaimana perasaan anak-anak saat melakukan tugas yang diperikan oleh Raja Zamrud?
Dari hasil refleksi di akhir pembelajaran semua anak-anak berpendapat kalau pelajaran hari itu sangat seru. Mereka merasa senang karena bisa membantu Raja Zamrud. Meskipun bagian yang paling diingat oleh anak-anak adalah cerita tentang Raja Zamrud yang membangun istana, namun secara tidak langsung mereka mendapatkan skill baru yaitu mengelompokkan dan mengidentifikasi puluhan dan satuan pada bilangan.
Menurut saya, dengan melakukan pembelajaran kontekstual seperti ini, konsep yang diajarkan akan lebih mudah dipahami oleh anak-anak. Selain itu, kita juga bisa menyisipkan materi-materi atau beberapa skill lainnya dalam dalam sebuah pembelajaran kontekstual. Contohnya di pelajaran ini tujuan utamanya adalah mengidentifikasi nilai tempat (puluhan dan satuan) pada suatu bilangan. Namun secara tidak langsung saya juga melatih kemampuan anak dalam menyimak cerita, kemampuan mengikuti instruksi yang diberikan, kemampuan mengungkapkan ide/pendapatnya, dan bekerjasama dalam kelompok kecil.
Di pertemuan selanjutnya ketika saya ingin meminta anak-anak menghitung sejumlah benda atau gambar dan menyebutkan nilai tempatnya, saya hanya tinggal memberikan petunjuk “ Anak-anak, masih ingat pesan Raja Zamrud untuk Prajurit?” lalu anak-anak pun otomatis menjawab “Ooh, dikelompokkan persepuluh dulu ya Bu?” mereka sudah secara otomatis mengaplikasikan kemampuannya dalam mengidentifikasi puluhan dan satuan pada suatu bilangan.