Program Penulisan Praktik Pembelajaran Merdeka Belajar pada Workshop Penulisan Praktik Baik.
Awal mengajar saya kebetulan ditempatkan di sebuah sekolah yang ada di sebuah kelurahan kecil. Letak sekolahnya agak jauh dari rumah penduduk. Tepatnya lokasi sekolah dikelilingi persawahan.
Setelah beberapa minggu saya berinteraksi dengan anak didik saya di kelas. Saya menyadari bahwa anak didik saya cenderung tidak berani tampil di depan kelas. Jangankan untuk tampil, untuk bertanya atau mengemukakan pendapat saja cenderung masih takut-takut. Hal ini makin diperparah dengan kurangnya perbendaharaan kata Bahasa Indonesia karena masih lebih banyak dipengaruhi oleh bahasa ibu (Bahasa daerah yang kental) serta rendahnya minat baca di kalangan mereka.
Sasaran pertama yang ingin saya benahi adalah bagaimana membuat anak didik saya untuk berani tampil di depan kelas di hadapan teman-teman dan di hadapan saya sebagai gurunya untuk membawakan materi. Saya ingin menjadikan mereka berani dengan cara menjadi tutor sebaya secara bergantian di depan kelas. Materi pertama yang saya berikan waktu itu, yang saya masih ingat adalah PANTUN. Jadi sebelumnya siswa yang mendapat giliran paling awal tampil saya minta menggali informasi yang sebanyak-banyaknya tentang pantun. Bagaimana caranya? Yaitu dengan membaca. Sekali lagi dengan membaca.
Namun keinginan saya untuk menjadikan mereka berani dan gemar membaca dengan jalan tutor sebaya (berperan sebagai guru di depan teman-temannya) tak serta-merta berjalan mulus. Apalagi ini kali pertama mereka mendapatkan pengalaman belajar seperti ini. Mereka cenderung masih malu dan takut. Malah lebih banyak yang mengatakan begini, “Maluki, Bu! Naketawaiki nanti teman-temanta’.”
Alasan-alasan yang demikian tak membuat saya patah semangat. Terkadang saya menjawab dengan sedikit bercanda. “Tidak masalah teman-temanmu ketawa, Nak. Itu masih lumrah. Yang jadi masalah itu kalau temanmu menangis ketika kamu tampil berbicara di depan kelas membawakan materimu. Karena ibu tidak tahu bagaimana cara mendiamkannya.” Guyonan seperti ini biasa saya lemparkan untuk membuat suasana santai. Saya senang menciptakan suasana yang akrab dengan mereka. Saya tak ingin menciptakan jarak antara saya sebagai guru dan mereka sebagai murid.
Akhirnya, keinginan saya untuk menjadikan mereka pribadi-pribadi yang berani berbicara di depan kelas dan dihadapan teman-teman serta gurunya, sedikit demi sedikit mulai menampakkan hasil. Mereka lebih antusias belajar. Apatah lagi jika tiba giliran belajar dengan mata pelajaran yang saya ampu. Malah alumni-alumni sekolah itu yang pernah saya ajar mengatakan, dia merasa beruntung sering diajarkan berani tampil di depan kelas. Karena di sekolah tempatnya sekarang melanjutkan pendidikannya mereka sudah biasa dan tak takut lagi.