Belajar Bermakna Sesuai Kesukaan Murid
“Saya nggak bisa, Bu. Saya nggak mau, nanti keluar garis”. Awal masuk kelas TK B sampai 1 semester, Mas Fayyadh (6 tahun) selalu merengek ketika diajak kegiatan mewarnai. Bahkan kadang marah-marah jika ada warna yang sedikit keluar dari garis pola gambar, pada akhirnya tidak mau melanjutkan mewarnai.
Setiap guru pasti selalu berharap anak didiknya bisa tumbuh dan berkembang sesuai tahapan usianya. Seperti anak usia TK B (5-6 tahun), tahapannya sudah bisa memegang pensil dengan tiga jari dan siap menulis, menggambar atau mewarnai. Jika memang ternyata realitanya hal tersebut belum berkembang sesuai tahapannya, maka guru bisa terus berusaha mendampingi proses belajar dan tumbuh kembangnya. Untuk mewujudkan harapan itu, kerjasama beberapa pihak sangatlah diperlukan. Seperti adanya kerjasama dari pihak keluarga dan sekolah. Karena dengan kerjasama, proses pendampingan bisa lebih maksimal dan bermakna.
Kali ini saya berkesempatan mendampingi proses belajar teman-teman TK B Umar Harun. Saya merasa sedih ketika mengamati salah satu anak didik saya belum siap memegang pensil dengan tiga jari. Apalagi dengan aktivitas menulis, mewarnai ataupun menggambar, selalu ditolak dan berusaha menghindari. Alasannya selalu mengatakan bahwa dia tidak bisa dan tidak mau. Ketika teman-teman di kelas sedang asyik beraktivitas dengan alat tulis, dia hanya diam atau memilih bermain sesuai keinginannya. Saya dan guru lainnya terus mendekati dan merayunya, memberikan motivasi dan meyakinkan dirinya bahwa dia bisa, tapi responnya masih saja penolakan untuk mencoba. Saya berusaha menyampaikan kebutuhan itu pada orang tuanya. Ternyata apa yang saya keluhkan sama dengan keluhan ayah ibunya. Mereka juga sudah terus berusaha, tapi belum berhasil. Hal tersebut berpengaruh pada proses belajarnya. Dia bahkan sudah melewatkan banyak hal yang seharusnya bisa dicapai, seperti mewarnai media-media yang disediakan oleh guru sesuai topik pembahasan kelas.
Saya semakin resah. Berusaha memikirkan solusi yang tepat untuk membantunya. Sampai pada suatu ketika saya teringat bahwa dia sangat suka hewan. Banyak sekali jenis hewan yang dikenalinya, bahkan paham apa saja macamnya Dinosaurus. Saya mempunyai ide untuk berkolaborasi dengannya. Saya menawarkan diri untuk membuatkan gambar hewan sesuai keinginannya dan dia bertugas mewarnai gambar itu. Ternyata dia terlihat tertarik dengan tawaranku. Saya berusaha menggambar dengan baik sesuai permintaannya. Ketika gambar sudah jadi, dia terlihat senang dan siap mencoba mewarnai. Tentu dengan motivasi dari guru, karena lagi-lagi merengek tidak bisa. Awalnya hanya berapa goresan saja sudah berhenti mewarnai. “Bu, capek. Sudah, saya nggak mau lagi”, ucapnya dengan wajah cemberut. Dia memintsaya melanjutkan proses mewarnai sampai selesai. Saya selalu memperhatikannya. Ternyata dia menunjukkan ekspresi bahagia saat gambarnya selesai diwarnai dengan sempurna. Akhirnya saya mencoba cara itu lagi keesokan harinya. Tentu dengan objek gambar yang berbeda dari sebelumnya. Sampai beberapa minggu berjalan, dia hanya siap mewarnai sedikit bagian saja. Tapi itu sudah pencapaian luar biasa, karena sudah bisa memegang pensil dengan tiga jari dengan baik. Saya tak pernah lupa memberikan apresiasi atas setiap usaha dan hasilnya. Semakin hari semakin terlihat perkembangan kesiapannya dalam mewarnai. Hal tersebut terlihat dari objek yang diwarnai semakin banyak dan tidak mudah mengeluh saat mewarnai.
Saya dengan penuh semangat menceritakan perkembangan itu pada orang tuanya. Lalu memberikan ide untuk menerapkan cara tersebut saat pendampingan belajar di rumah. Kebetulan di rumah punya mesin cetak, jadi bisa mencetak gambar sesuai keinginan anak sebanyak mungkin. Alhamdulillah orang tuanya sangat terbuka dan siap melanjutkan pendampingan di rumah. Setelah dicoba, ternyata dia terlihat antusias dan senang sekali. Banyak objek gambar yang sudah berhasil diwarnainya dengan baik. Ketika di sekolah, ternyata dia ketagihan mewarnai. Bahkan jika semua objek belum diwarnai sampai selesai, dia tidak mau beralih kegiatan.
Suatu ketika saya mencoba memberikan dia tantangan untuk menggambar sendiri. Pasti awalnya terus menolak, dengan alasan tidak bisa. Saya tidak berhenti meyakinkan agar dia mau mencoba dulu. “Mas, pasti bisa kok. Ayo dicoba dulu. Kalau mau mencoba dan berusaha pasti bisa”. Kalimat itu seolah jadi senjata dan jimat bagi saya untuk mendukung proses belajar anak. Entah sudah mengucapkan itu berapa kali, yang pasti saya yakin, akan ada kejutan di balik jimat itu. Ternyata akhirnya dia siap mencoba dan berhasil. Keesokan harinya ketagihan mencoba menggambar lagi, sampai bisa membuat beberapa objek, seperti Among us.
Hal ini membuat saya semakin yakin, bahwa memfasilitasi proses belajar sesuai keinginan anak jauh lebih efektif dan berdampak. Anak juga diberikan kesempatan berhasil, karena pengalaman itu yang akan membuat dia ketagihan mencoba dan percaya pada kemampuan dirinya. Sebagai guru jangan pernah menyerah untuk terus menumbuhkan semangat belajar dalam diri murid dengan terus berefleksi dan mencari cara.