Pandemi Covid-19 (Corona Virus Diseased 2019) telah memberikan efek luar biasa kepada masyarakat dunia. Masyarakat Indonesia secara umum dan Sulawesi Selatan secara khusus. Efek tersebut tidak hanya berupa kemerosotan dari sektor ekonomi tetapi juga pendidikan. Hal ini dapat dilacak dari berbagai kondisi yang ditimbulkannya. Seperti adanya PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) level 1 hingga 4 membuat aktivitas prekonomian sempat terhenti. Diperparah lagi dengan ditutupnya akses keluar-masuk di sebuah area/daerah yang dikenal dengan istilah (lockdown). Dari sektor Pendidikan? Tentu saja pembelajaran tatap muka (offline) di sekolah terpaksa diliburkan. Lalu berangsur menjadi pembelajaran daring (online).
Sebagai orang yang terdampak, saya akhirnya mencoba peruntungan untuk melamar menjadi salah satu guru di SD (Sekolah Dasar) Rumah Sekolah Cendekia (RSC). Secara jarak, tidak terlalu jauh tapi juga tak terlalu dekat dari rumah. Meski begitu, menjadi guru bukan fokus disiplin ilmu saya, namun apa boleh buat bila lamaran di perusahan-perusahaan ternama tak kunjung memberi lampu hijau. Bahkan banyak buruh terkena PHK (pemutusan hubungan kerja). Singkat cerita, saya akhirnya mendapat panggilan untuk interview. Alhamdulillah setelah melalui berbagai prasyarat, saya pun diterima menjadi guru di RSC.
Mengajar di tingkat SD tidak seindah melihat panorama di puncak gunung. Terdapat banyak tantangan yang butuh untuk segera dijawab. Sebab, saya mulai mengajar awal Juni tahun 2021 tentu saja kondisi pembelajaran lebih banyak online daripada offline. Offline pun dilakukan terbatas hanya untuk beberapa anak yang terkendala ketika belajar dari rumah. Seperti ketersediaan perangkat maupun orang dewasa yang mendampinginya. Akan tetapi ketegangan seperti ini bisa dilalui setelah melakukan evaluasi maupun refleksi.
Tantangan berikutnya adalah saat menemukan betapa banyak murid yang minat membacanya kurang. Perihal ini tidak dapat dipungkiri, kondisi belajar dari rumah membuat anak lebih dekat dengan gawai dan lebih mudah untuk bermain game online sehabis kelas daring berlangsung. Ataupun menghabiskan waktu menjelajah di kanal Youtube maupun TikTok. Belum lagi anak yang barangkali tanpa pengawasan orang dewasa, ketika meet berlangsung, tidak membuka kamera ataupun memberikan respon sama sekali.
Akhirnya setelah ada kelonggaran sedikit, sekolah pun dibolehkan melakukan pembelajan tatap muka secara terbatas. Tentu dengan protokol kesehatan (prokes) yang ketat. Saya kemudian melakukan diagnosis awal untuk memastikan apakah betul minat baca anak kurang. Hasilnya, ternyata sesuai dengan prediksi diawal. Lantas keadaan ini pun segera diketahui oleh kepala sekolah. Alhasil tantangan yang diberikan ke saya pun bertambah.
Terdengarnya kabar bahwa kelas yang saya ampu akan segera menghadapi Assesmen Nasional (AN) membuat saya semakin khawatir. Kekhawatiran itu tidak hanya saya yang rasakan bahkan semua elemen sekolah, terlebih kepala sekolah. Bagaimana tidak, sudah membaca buku jarang, membaca soal cerita yang panjang kewalahan, tidak tahan membaca lama, apalagi ketika diminta menuntaskan satu buku. Meski jumlah halamannya sedikit juga tidak luput dari adanya keluh. Lalu, bagaimana saya memulai untuk menjawab tantangan ini? Apa saja yang saya lakukan kepada murid? Yuk! Simak cerita saya berikut.
Setelah berdiskusi dengan guru-guru di sekolah sejumlah saran dan masukan ditampung dan perlahan mulai dipraktikkan. Seperti mewajibkan anak membaca buku setiap hari. Minimal membaca satu buku saja yang jumlah halamannya hanya sekitar 20an halaman. Hal ini dilakukan agar anak semakin terbiasa dengan bacaan. Jadi, sebelum memulai pelajaran seperti biasa di kelas, anak-anak diberi waktu 5 – 10 menit untuk memilih buku di Perpustakaan yang akan dibaca di kelas nantinya. Mereka bebas memilih judul apa saja. Namun, dengan catatan bukan komik. Buku bacaan tersebut akan menjadi syarat masuk di kelas.
Setengah jam pelajaran dialokasikan khusus untuk membaca. Peraturannya, tidak boleh bermain sebelum bacaan dituntaskan. Mereka juga bisa menggunakan waktu istirahat atau jeda pergantian jam untuk membaca. Demi memastikan anak benar-benar membaca, langkah selanjutnya adalah memberi kesempatan kepada anak untuk menyetor (menceritakan hasil bacaannya). Ada yang membaca dengan tertatih, membutuhkan waktu lama, ada pula yang hanya memerhatikan gambarnya dan mengarang-ngarang ceritanya saat diminta untuk setor hasil bacaan diakhir sesi belajar atau sebelum jam pulang.
Walaupun proses tersebut berjalan tanpa keluhan yang banyak. Namun adapula yang sering menunda-nunda, “terakhirpi saya pak nah…” Dengan nada yang memelas. Sampai akhirnya waktu pulang tiba dan mereka tidak menyelesaikan tugasnya. Pekan berikutnya, dipajanglah daftar buku bacaan yang telah dibaca oleh anak. Ada kebanggaan tersediri bagi anak saat melihat namanya dan daftar buku yang dibacanya. Namun apakah dari daftar itu, anak benar-benar membaca tuntas atau tidak? Nyatanya hanya sekitar 30% anak yang rutin menyetorkan hasil bacaannya. Diakhir pekan dievaluasi lagi, ternyata ditemukan anak-anak sudah tahu celahnya untuk lolos selain menunda-nunda waktu setor hasil bacaan. Beberapa anak rajin menukar buku yang dipinjam di perpustakaan demi terlihat banyak buku telah dibaca meski dengan tidak tuntas. Terlebih lagi waktu menyetor bacaan terbatas. Sebab menghindari jam pelajaran lain terpotong.
Pekan berikutnya dievaluasi lagi. Sebab, tiap hari banyak keluhan mulai bermunculan dari anak-anak. Waktu bermain mereka tersita hanya untuk mengantri menyetor hasil bacaan. Bahkan ada anak yang mengungkapkan ke keluhannya seperti ini, “deh pak Rahmat, sudah maki mengerjakan worksheet. Coba kutahu begini tidak ke Sekolahka, saya belajar dari rumah saja”. Setelah berdiskusi lagi dengan rekan guru di kelas, alhasil ditemukanlah formula yang tepat. Ternyata ada cara lain untuk memastikan anak benar-benar membaca, selain menyetor hasil bacaannya. Mereka diminta menuliskan hasil bacaanya, yang berisi ringkasan cerita. Isinya bagaimana cerita diawal, tengah, hingga akhir. Selanjutnya, dibuatlah ‘diagram literasi’ yang nantinya dipajang di dinding dalam kelas. Setiap anak diminta untuk menulis namanya sekreatif mungkin pada potongan kertas yang telah disiapkan berukuran 10 x 3 cm dan dibolehkan menggunakan pewarna. Setelah itu ditempelkan pada polikarbonat ukuran A0 atau kira-kira seukuran kertas manila.
Jadi, setiap anak yang sudah membaca dan menuliskan hasil bacaannya akan ditempelkan label kertas berwarna di samping namanya. Kertas yang ditempel; Pertama, label hijau jika anak membaca buku lebih dari 20 halaman, dan menuliskan hasil bacaan bagian awal, tengah, dan akhir ditulis secara runut. Kedua, label kuning untuk anak yang membaca buku lebih dari 20 halaman tetapi hasil bacaan yang dituliskan di jurnal tidak runut. Bagian awal, tengah, akhir masing-masing dituliskan 1 – 2 kalimat. Ketiga, label merah jika jumlah halaman buku yang dibaca kurang dari 20 halaman dan hasil bacaannya dituliskan dengan kalimat pendek.
Dari metode di atas, terlihat anak sangat antusias untuk membaca buku kemudian menuliskannya menjadi jurnal bacaan. Tidak ada lagi alasan tidak cukup waktu untuk menyetor hasil bacaannya. Kondisi ini membuat saya lega untuk beberapa saat. Tapi, apakah sudah tidak ada lagi masalah? Oh, tentu saja ada. Setelah membaca dan menilai jurnal yang mereka tuliskan ternyata ada beberpa anak yang hanya menyalin. Bahkan ada yang menyalin semua demi mendapatkan penilaian baik. Meski disalin semua, tidak lantas mendapatkan warna hijau. Lalu, apa lagi yang saya lakukan?
Saya menjelaskan lagi ke mereka, “jika mau dapat hijau, tidak mesti kalian salin semua yang ada di sini (menunjuk buku). Pertama baca dulu, pahami ceritanya, kemudian ingat-ingat ceritanya dan tuliskan. Biar kalimatnya tidak panjang, asalkan ceritanya runut, bahkan pak Rahmat lebih suka jika anak-anak menulis menggunakan kalimatnya sendiri”. Lambat laun anak-anak sudah terbiasa menulis hasil bacaannya bahkan sudah ada yang menulis dengan kalimat dan bahasanya sendiri. Sedikit dimodifikasi namun tidak keluar dari alur cerita. Menjurnalkan hasil bacaan sudah menjadi kebiasaan di kelas. Anak terlihat sangat antusias dan saling unjuk gigi di hadapan teman-temannya. Bahkan saling melaporkan ketika ada yang belum menyetorkan jurnal bacaannya dan sudah bermain.
Perubahan berikutnya, setelah kegiatan membaca dan menjurnalkan hasil bacaannya, terlihat anak-anak sudah menjadikannya sebagai rutinitas. Namun masih ada 1-2 anak yang protes jika ditagih tulisan setiap hari. Setelah mendengar maunya, ternyata mereka lebih suka menceritakan hasil bacaannya daripada ditulis. Bisa jadi dia masih butuh waktu untuk berlatih menulis cepat. Jadi, saya memberikan dia kesempatan untuk menceritakan hasil bacaannya dan tetap menilainya dengan penilaian yang hampir sama. Jika ceritanya sesuai dan runut mereka mendapat label hijau. Sebaliknya jika tidak runut atau bagian yang dilupa mereka dapatnya label kuning bahkan merah.
Kini, rutinitas membaca dan menjurnalkan hasil bacaan sudah menjadi kebiasaan anak kelas 5. Mereka terlihat sudah mulai terbiasa dan telah menemukan polanya. Jika waktu bermain tidak ingin tersita, anak-anak mengerjakan jurnalnya di pagi hari sebelum jam pelajaran dimulai. Ada pula yang meminta buku untuk dibawa pulang pada akhir pekan untuk dibaca dan untuk jurnal bacaan. Begitu juga ketika ada yang tidak hadir ke sekolah, anak akan membayar besoknya dengan menyetor 2 jurnal bacaan. Label warna yang ditempel pada diagram literasi akan dibuka setiap akhir bulan dan dipasang lagi yang baru.
Pada akhirnya, saya mau menyampaikan bahwa tidak ada yang instan untuk menumbuhkan literasi anak utamanya membaca dan menulis. Semuanya mesti bertahap dan diawali dengan membaca terlebih dahulu. Begitupula dengan cerita diawal paragraf di atas dan telah mengantarkan saya menjadi seorang guru hingga saat ini. Terakhir, kelas yang saya ampu sejumlah 18 orang siswa sukses menghadapi AN dengan capaian ‘kemampuan literasi’ jauh di atas standar.
Jalan menuju puncak begitu terjal dan melelahkan, tetapi jika sudah sampai di puncak gunung anda akan melihat keindahan panorama ciptaan-Nya.
Hidup kesepian tanpa kekasih, cukup sekian dan terimakasih sudah membaca cerita saya.
Makassar, 09 Juli 2022