Pendidikan seharusnya berpihak pada murid, memberi kesempatan pada semua murid dan memfasilitasi setiap murid menjadi versi terbaiknya. Pendidikan yang inklusif dan menghargai setiap kecerdasan murid menjadi cita-cita yang ingin saya wujudkan. Hal tersebut saya lakukan dengan membuka sekolah inklusi pada 2005. Waktu itu, paradigma tentang sekolah inklusi belum diterima oleh orang tua, guru, bahkan komunitas pendidikan.
Tes masuk sekolah, peringkat untuk menilai kepandaian murid, kurikulum operasional yang sama untuk semua murid, dan pemisahan murid berkebutuhan khusus temannya lazim dilakukan sekolah agar dikategorikan sebagai sekolah unggulan. Sekolah-sekolah dengan menggunakan berbagai tes standar dalam penerimaan murid, pembelajaran, dan kelulusan.
Pengalaman belajar tersebut, baik sebagai murid maupun sebagai guru, diteruskan dari generasi ke generasi, menjadi pengalaman belajar yang dianggap berhasil. Calon-calon guru yang saya temui, masih muda dan baru lulus, masih asing dengan praktik pembelajaran yang berpihak pada murid.
Dalam ranah yang berbeda, saya mendapat saran untuk mengikuti tren pendidikan. Guru siap bekerja, orang tua yang lebih mudah menerima, dan sekolah akan menjadi sekolah unggulan.
Saya percaya bahwa sekolah terbaik adalah sekolah yang terus menerus melakukan usaha dan perbaikan dalam menjalankan pembelajaran. Dalam proses jangka panjang dan berkelanjutan, pembelajaran merupakan tantangan bagi guru, sebagai pemimpin pembelajar, untuk membuat perubahan.
Kurikulum terbaik dijalankan oleh guru terbaik. Dengan demikian, visi sekolah membutuhkan kesediaan dan kesiapan guru untuk mengubah pola pikir. Paradigma lama perlu diganti dengan paradigma yang dikenal dengan merdeka belajar.
Bagaimana saya mendapati guru yang dapat memiliki visi yang berpihak pada murid atau membuat guru tertantang dengan visi perubahan? Di satu sisi, mencari guru baru yang belum pernah mengajar adalah tantangan. Namun, di sisi lain, memiliki guru berpengalaman, tetapi dengan paradigma yang tidak sejalan, akan menjadi hambatan.
Bagaimana saya memulai sebuah visi dengan pilihan perubahan yang belum bisa diterima secara luas? Bagaimana saya mengajak guru-guru membuat perubahan? Bagaimana saya menyatukan mereka dalam suatu cita-cita?
Sebagaimana nakhoda kapal yang menjadikan bintang utara sebagai panduan, saya menjadikan true north sebagai kiblat, pedoman hati, atau hati nurani. True northtersebut terdiri dari visi, misi, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip yang menjadi keyakinan saya dalam kepemimpinan sekolah. Hal itu sekaligus sebagai undangan bagi guru-guru untuk bergabung.
Visi adalah gambaran mental tentang apa yang kita rencanakan untuk dicapai. Ketika disosialisasikan dan dikomunikasikan dengan baik, visi akan memberi informasi dan menginspirasi upaya kolektif. Upaya kolektif melibatkan kolaborasi, kolegialitas, dan saling ketergantungan. Semua itu untuk mencapai visi.
True north adalah titik orientasi kita di dunia yang terus berputar dan berubah dengan berbagai tantangannya. True north membantu kita tetap berada di jalur yang kita pilih sebagai pemimpin.
True north berasal dari keyakinan yang dalam serta nilai-nilai dan prinsip-prinsip visi yang ingin kita wujudkan. Saya menemukan true north sebagai kompas internal saya yang unik dan mewakili keyakinan yang paling dalam untuk mewujudkan sekolah yang welas asih, inklusif, dan menghargai berbagai kecerdasan setiap murid.
Hal yang saya percaya dan sesuatu yang guru percaya harus dikomunikasikan. Saya dapat saja membimbing atau mempengaruhi guru. Namun, yang lebih penting adalah mengajak guru menemukan true north mereka. Pedoman hati, hati nurani, atau tujuan sejati yang akan memimpin dirin mereka menuju visi.
Cara Menjadikan True North sebagai Pemandu dengan Empat Elemen Utama Kepemimpinan Diri
Pertama, kesadaran diri (self awareness). Guru dapat meningkatkan kesadaran diri dengan melakukan refleksi dan kesiapan untuk memperoleh umpan balik.
Ketika melakukan praktik mengajar, banyak calon guru yangmenggunakan nilai sebagai tujuan belajar. Nilai sebagai pembanding seseorang dengan sebuah standar. Umpan balik belum menjadi bagian dari asesmen pembelajaran.
Melakukan asesmen diagnostik dan melakukan diferensiasi pembelajaran tentu saja membutuhkan perhatian dan kesabaran dari guru. Krtika hal itu tidak dilakukan, berarti tidak ada keberpihakan terhadap tumbuh dan kembanga murid. Sedangkan bagi guru, tentu saja itu lebih mudah dilakukan.
Saya mengajak guru melakukan refleksi terhadap pengalaman merekaa sebagai murid: pengalaman yang baik dan pengalaman yang tidak memberi kebaikan. Dengan demikian mereka sadar bahwa dirinya mampu membawa perubahan pada murid. Tinggal menentukan: memilih yang mudah dan tidak berdampak atau memilih perubahan yang akan memberi dampak pada pembelajaran.
Saya juga memberi kesempatan kepada guru untuk menunjukan kompetensi dan keterampilan yang dimilikin. Bukan hanya sesuatu yang tertera di ijazah dan transkrip nilai. Hal itu membuat mereka memahami bahwa bila seseorang diberi kesempatan melakukan sesuatu dengan cara yang disukai, dia akan mendapati dirinya ada pada versi terbaik. Itu tidak ditemukan dalam nilai akademik.
Pengalaman itu akan memberi guru umpan balik bagi dirinya. Mereka akan menghargai saran yang didapatnya. Guru juga semakin mengenali dirinya untuk mengaktualisasikan potensi menjadi kompetensi. Saat ini saya bersama guru-guru dengan kompetensi terbaik di bidangnya. Ada yang lahir dari hobi yang dia suka. Ada juga yang tidak memiliki latar belakang pendidikan linier, tetapi mereka secara sadar memperdalam keterampilan atau mengambil pendidikan linier untuk menyesuaikan.
Kedua, memiliki nilai (values). Dalam memperoleh kesadaran diri, penting untuk mengidentifikasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang memandu. Guru harus memutuskan apa yang paling penting dalam hidupnya. Apakah itu menjaga integritas, membantu orang lain, atau mengabdikan diri untuk pendidikan? Tidak ada satu nilai yang benar untuk semua. Guru harus memilih nilai-nilai yang akan dipegang teguh. Ketika melakukannya, guru akan bisa menyelaraskan diri dengan orang-orang dan organisasi yang memiliki nilai-nilai yang sama. Nilai-nilai itu bisa datang dari keluarga, tokoh panutan, teman, murid, atau quotes bijak.
Agar visi sekolah dapat menjadi nilai, penting bagi saya dapat memvisualkannya kepada guru. Pada awal penerimaan guru, calon guru melakukan observasi kelas. Kemudian saya mengajak mereka membuat profil murid dengan asesmen diagnostik, mengikuti wawancara dengan orang tua, dan mengobservasi murid berkebutuhan khusus.
Sangat penting berempati, dengan menempatkan guru sebagai orang tua murid. Sebuah pertanyaan untuk guru saya berikan. Bila ada satu anak tidak menjadi perhatian guru, seorang anak yang tertinggal, dan anak itu adalah anak dari guru tersebut, apa yang akan dia lakukan? Apakah mewujudkan pendidikan inklusif bagi semua, melakukan diferensiasi untuk memfasilitasi setiap murid, dan welas asih akan menjadi nilai-nilai yang ingin dia lakukan?
Ketiga, menemukan sweet spot (rasa bahagia), yaitu menemukan inspirasi utama yang mengintegrasikan motivasi dengan kemampuan terbaik kita. Memiliki kesadaran tentang sesuatu yang dapat memotivasi serta memahami kekuatan dan kelemahan akan memungkinkan guru menemukan sweet spot-nya.
Guru yang terinspirasi melakukan hal-hal besar dan yakin bahwa dia dapat mencapainya dengan menggunakan kemampuannya memiliki peluang terbesar untuk membuat perbedaan. Menyadari kekurangan diri dan bisa melewati tantangan membuat guru akan teringat terus pada bahagia yang dirasakannya.
Murid yang pemalu menjadi percaya diri dan tampil di depan banyak orang adalah prestasi yang menbanggakan. Murid menyukai pembelajaran proyek dengan riset yang mereka lakukan sehingga dapat mengikuti berbagai lomba adalah prestasi bagi murid dan momen yang membahagiakan bagi guru. Perasaan itu akan menggugah motivasi dari dalam diri guru. Pujian yang saya berikan menjadi penghargaan memunculkan motivasi dari luar dirinya.
Keempat, menemukan tim pendukung (support system). Tim pendukung akan menunjukan kepedulian, membangun kepercayaan, dan memberi kekuatan ketika melewati masa-masa meresahkan. Tim pendukung memungkinkan guru mengenali hal yang penting dan prioritas.
Dukungan dapat dibangun bersama teman-teman guru, staf administrasi ,dan komunitas pendidik. Kolaborasi dalam kelas bersama teman-teman guru, kolaborasi teman kelas paralel, kolaborasi antar-bidang studi, kolaborasi dalam penyusunan individual education program, dan mendorong guru untuk terlibat dalam komunitas pendidik akan membuat guru terus berbagi dan belajar.
Saya menunjuk beberapa guru menjadi tim pendukung untuk guru baru. Saya melakukan coaching untuk menunjukkan dukungan kepada guru.
Kelima, mengintegrasikan. Semua hal di atas diselaraskan dengan kehidupan guru sehingga menjadi satu kesatuan (integrated life), baik berkaitan dengan kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, kehidupan profesional/karier, kehidupan spiritual, maupun kehidupan sosial dan masyarakat.
Dalam penerimaan guru, saya menanyakan beberapa hal pribadi yang bisa dibagikan sebatas untuk saling mengenal. Saya menanyakan apa rencana ke depan bagi dirinya, keluarganya, dan masa depannya. Di bagian manakah rencana itu memasukkan visi sekolah.
Saya selalu menyampaikan bahwa waktu yang dilalui bersama di sekolah dengan murid dan teman-teman guru bisa jadi lebih panjang dari waktu bertemu keluarga di rumah. Untuk itu, bila tidak menjadikan sekolah sebagai rumah dan teman-teman guru sebagai keluarga, kita akan kehilangan kehangatan dalam nilai keluarga.
Pertemuan formal dan informal saya lakukan untuk membangun lingkungan yang kekeluargaan dalam kebersamaan. Saya juga memberi beasiswa bagi putra-putri guru untuk bersekolah di sekolah kami.
Bila telah menemukan true north dalam diri, kita akan mampu memimpin diri kita sendiri menggunakan kompas kepemimpinan diri. Saat ini saya bersama guru-guru yang telah membersamai murid di sekolah dengan program inklusi. Kami menghargai kecerdasan majemuk, diferensiasi pembelajaran, menerima murid berkebutuhan khusus dengan kurikulum individual development program, welas asih dengan disiplin positif, dan 20 karakter lazuardi.
Saya yakin, dengan memberi konteks kehidupan dalam pendidikan maka, sebagai guru dan pemimpin pembelajar ,kita tidak akan menyia-nyiakan waktu yang dimiliki murid saat ini. Sebagaimana disampaikan oleh John Dewey bahw a pendidikan bukan persiapan hidup. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.