Bagaimana Guru Jebolan Sistem Abad Ke-19 Mengajar Anak Abad Ke-21?

Bukik Setiawan, ketua Yayasan Guru Belajar, menghadiri webinar kelima Extension Course of Culture and Region sebagai narasumber pada Senin (24/10/2022). Webinar ini digelar oleh Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan. Pada kesempatan itu, Bukik berbicara mengenai kesenjangan antar generasi yang mempengaruhi peluang dan tantangan dalam dunia pendidikan.

Bukik menjelaskan, pendidikan merupakan upaya untuk membantu anak-anak menghadapi tantangan zamannya agar bisa hidup mandiri dan bahagia. Pendidik sebagai orang yang membantu perlu tahu dan menyadari apa tantangan zaman anak-anak tersebut.

“Mengapa saya memilih kata ‘membantu’? Karena saya percaya anak-anak pada dasarnya pelajar merdeka sejak lahir. Mereka secara alamiah akan bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang merdeka pula. Pendidikan bukan syarat utama tumbuh kembang anak. Pendidikan adalah upaya untuk membantu agar proses tumbuh kembang itu jadi lebih efektif,” katanya.

Terdapat perbedaan kebutuhan pendidikan yang mencolok pada setiap zamannya. Misalnya pada abad ke-19 merupakan zamannya industri manufaktur. Sehingga tantangannya terkait dengan efisiensi dan mekanis. Sedangkan industri informasi pesat pada abad ke-20. Informasi dan rasionalitas merupakan tantangannya.

Pada abad ke-21, terang Bukik, yang berkembang adalah industri kreatif. Kemampuan yang penting yakni menganalisis dan mengolah informasi untuk bisa berkreasi. Sumber belajar tidak lagi terbatas, melainkan hingga ke komunitas atau lingkungannya.

“Karena kemampuannya menganalisis, maka perlu mengekspos murid dengan komunitas-komunitas masyarakat secara langsung. Tidak lagi belajar menekankan efisiensi tapi seberapa bermakna pembelajaran tersebut untuk murid,” jelasnya.

Anak pada abad ini membutuhkan personalisasi belajar dimana mereka dapat mendesain tujuan dan cara belajarnya sendiri. Corak komunikasi dalam proses belajar tidak hanya sekedar diberi kesempatan berbicara melainkan menekankan diskusi dan presentasi.

“Yang dibutuhkan bukan hanya penguasaan pengetahuan atau kompetensi tapi bagaimana kompetensi tersebut dapat berfungsi dalam kolaborasi sehingga memberikan kontribusi untuk kehidupan,” tutur Bukik.

Bukik mengungkapkan, karena perbedaan zaman ini akhirnya terjadi kesenjangan antara pendidik dan yang dididik. Pendidik merupakan tamatan pendidikan abad ke-19 yang harus membantu anak dengan tantangan zaman abad ke-21.

Untuk mengatasinya, Bukik menegaskan, perlu menempatkan anak sebagai pemimpin dalam proses belajar-mengajar. Sementara pendidik sebagai orang yang belajar. Pasalnya, pendidik sebagai orang dewasa sebenarnya lebih punya banyak PR dibandingkan anak.

“Karena kita harus unlearn dulu, melupakan apa-apa yang kita pelajari dulu agar bisa terbuka, melihat, dan memahami tantangan zaman ini. Memahami anak kita apa adanya tanpa bias kita sebagai warga yang belajar dengan cara abad ke-19,” pungkasnya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top