Ditulis oleh: Rani Resdiani
Menghadapi anak remaja bisa diibaratkan dengan menaiki roller coaster yang bisa naik dan turun dengan begitu cepat.
Imelda B. L. Hutapea, 2020
Hal inilah yang saya hadapi sebagai guru kelas 5 SD. Saat ini, anak-anak kelas 5 tengah memasuki masa pra remaja. Menurut Agus Fitria, S.Psi, pra remaja merupakan peralihan dari masa anak-anak menuju tahapan sebelum dewasa yang terjadi pada anak yang berusia 10-14 tahun. Pada masa ini banyak perubahan yang dialami oleh anak, baik perubahan fisik maupun psikis. Salah satu dampak dari perubahan ini adalah munculnya perilaku perundungan.
Salah satu permasalahan yang saya hadapi adalah munculnya perilaku perundungan secara verbal diantara anak-anak kelas 5. Anak-anak saling mengejek satu sama lain, mulai dari mengejek kondisi fisik hingga mengejek nama orangtua. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, perilaku perundungan verbal cenderung meningkat saat anak memasuki kelas 5. Maka dari itu, perilaku perundungan verbal ini menjadi sorotan di kelas 5.
Ketika saya mengajak anak-anak untuk berbicara tentang ejekan-ejekan yang mereka lontarkan pada temannya, saya menemukan hal yang cukup mengejutkan. Ternyata anak tidak menyadari kalau tindakan yang mereka lakukan adalah salah satu bentuk perundungan. Anak-anak menganggap bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah sebuah candaan. Mereka tidak menyadari kalau candaan yang mereka lontarkan ternyata menyakiti perasaan temannya.
Berawal dari permasalahan tersebut, saya mulai merancang kegiatan belajar untuk mengenalkan perilaku perundungan pada anak-anak. Tujuan besarnya adalah untuk menurunkan perilaku perundungan diantara anak-anak. Kegiatan pertama yang kami lakukan adalah mengenalkan perilaku perundungan melalui tayangan animasi. Anak bersama-sama menonton video tentang perundungan yang dialami oleh siswa SD. Setelah itu, saya memberi penggenapan mengenai apa itu perundungan dan apa saja jenis-jenis perundungan.
Kegiatan berikutnya yang kami lakukan adalah bad word and good word. Pada kegiatan ini, anak mendapatkan potongan kertas kosong. Anak diminta untuk menuliskan kata-kata apa saja yang membuat mereka senang dan kata-kata apa saja yang menyakiti hati mereka. Anak diberi kebebasan untuk menulis kata-kata sebanyak yang mereka inginkan. Setelah selesai, anak menempelkan kata-kata yang membuat mereka senang pada papan good word dan menempelkan kata-kata yang menyakiti hati mereka pada papan bad word. Di akhir kegiatan, anak diminta untuk mengamati semua kata-kata yang ada pada papan bad word dan papan good word. Di sini anak-anak jadi menyadari kalau kata-kata yang biasa mereka lontarkan pada temannya sebagai candaan ternyata bisa menyakiti hati temannya.
Kegiatan penutup dari rangkaian kegiatan pengenalan perilaku perundungan yang saya rancang adalah scramble paper. Anak-anak mendapatkan selembar kertas dengan kondisi baik (bersih dan rapi). Setelah itu, saya memberikan instruksi pada anak-anak untuk merusak kertas tersebut. Anak-anak sangat bersemangat saat merusak kertas. Ada yang meremas kertas, bahkan ada yang merobek kertas menjadi kepingan kecil. Instruksi selanjutnya adalah anak diminta untuk mengembalikan kertas hingga menjadi kondisi semula. Saat mendapatkan instruksi ini anak tampak kaget dan kebingungan. Mereka tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan kertas tersebut hingga kembali menjadi kondisi semula. Mereka mencoba berbagai cara namun mereka gagal. Saya pun menjelaskan apa tujuan dari kegiatan ini pada anak-anak. Kertas yang mereka pegang dianalogikan dengan hati teman mereka. Saat mereka melakukan perundungan verbal, misalnya mengejek fisik, hati teman mereka terluka dan rusak seperti kertas yang mereka robek. Jika hati sudah terluka, maka akan meninggalkan bekas. Seberapapun usaha kita untuk memperbaiki, misalnya dengan meminta maaf, bekas luka tersebut tidak akan hilang begitu saja. Sama seperti kertas yang sudah dirusak, bagaimana pun kita berusaha, kertas tersebut tidak bisa kembali menjadi kondisi semula. Hal ini diperkuat dengan tanggapan anak-anak tentang ejekan yang pernah diterimanya. Anak-anak masih mengingat dengan jelas ejekan yang diterimanya, siapa pelakunya, kapan dan dimana terjadinya, bahkan bagaimana perasaan mereka saat itu.
Rangkaian kegiatan-kegiatan tersebut menyebabkan perubahan baik pada anak-anak kelas 5. Tingkat perundungan verbal diantara anak-anak kelas 5 mulai menurun. Bahkan anak mulai bisa saling mengingatkan jika ada temannya yang tidak sengaja melakukan perundungan verbal.
Setelah mengenal dan mempelajari tentang perilaku perundungan verbal, semangat anak-anak untuk mengurangi perilaku perundungan verbal menjadi semakin tinggi. Anak-anak berinisiatif untuk membuat kegiatan bersama semua anak-anak Sekolah Linimasa untuk mengurangi perilaku perundungan di tingkat sekolah. Kegiatan awal yang mereka lakukan adalah membantu anak-anak kelas 3 membuat poster dengan tema perundungan. Kebetulan anak kelas 3 juga sedang belajar tentang perundungan. Maka dari itu, anak kelas 5 tidak mau melewatkan kesempatan berkolaborasi dengan anak kelas 3 untuk membuat poster. Poster-poster ini akan disosialisasikan di kelas-kelas lain dan ditempel di sekitar area sekolah. Harapannya, anak-anak Sekolah Linimasa akan lebih memiliki kesadaran tentang perilaku perundungan.
Puncaknya, anak-anak kelas 5 berinisiatif untuk melakukan kegiatan bermain bersama. Ide kegiatan ini muncul dari anak-anak kelas 5. Mereka berpendapat bahwa dengan bermain bersama maka perilaku perundungan mungkin bisa berkurang. Selama satu minggu mereka merancang kegiatan bermain ini. Mereka berdiskusi tentang siapa saja yang bisa mengikuti kegiatan ini, kapan pelaksanaannya, berapa lama kegiatan ini akan dilakukan, permainan apa saja yang akan mereka lakukan, alat dan bahan apa saja yang mereka butuhkan, hingga pembagian panitia pelaksanaan.
Melalui diskusi panjang, anak-anak akhirnya memutuskan untuk membuat kegiatan bermain di sekolah selama 1 hari penuh. Mereka membagi anak-anak Sekolah Linimasa menjadi 2 kelompok besar, yakni kelas besar dan kelas kecil. Kelas kecil yang terdiri dari kelas 1 dan 2, diajak untuk bermain oray-orayan (ular naga), membuat kapal dari kulit jeruk bali, bebentengan (permainan benteng) hingga meronce gelang persahabatan. Kelas besar yang terdiri dari kelas 3, 4, dan 6, diajak untuk bermain lomba-lomba hiburan seperti lomba tarik tambang, whispering game, lomba makan biskuit, hingga lomba estafet kelereng. Sebelum melakukan kegiatan bermain, anak-anak kelas 5 menjelaskan tujuan kegiatan bermain ini sekaligus melakukan sosialisasi tentang bahaya perilaku perundungan.
Anak-anak kelas 5 terlihat begitu antusias mempersiapkan kegiatan bermain ini. Ini adalah pertama kalinya mereka merancang kegiatan secara mandiri dan melibatkan semua anak-anak Sekolah Linimasa. Anak-anak pun tampak senang dan bersemangat selama mengikuti kegiatan bermain bersama.
Setelah melalui berbagai rangkaian kegiatan, mulai dari pengenalan perilaku perundungan hingga kegiatan bermain bersama, perubahan mulai teramati pada anak-anak. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, tingkat perundungan verbal mulai menurun. Hal lain yang teramati adalah anak-anak mulai bisa berbaur dengan anak kelas lainnya. Mereka mulai bermain bersama saat jam istirahat. Anak-anak yang lebih besar terlihat sering membantu anak-anak yang lebih kecil. Saya harap kegiatan-kegiatan yang kami lakukan di sekolah dapat memberikan manfaat tidak hanya pada warga Sekolah Linimasa namun pada masyarakat umumnya juga.