ASESMEN DIAGNOSTIK YANG MEMANUSIAKAN HUBUNGAN
Oleh: Azmil Futihatur Rizqiyyah/KGB Lamongan
Sudah setahun lebih pandemi belum juga berlalu. Guru masih dihadapkan pada pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang terkadang masih sulit dilakukan, mengingat banyak metode yang sudah dilakukan namun belum sesuai dengan harapan. Deretan angka hasil pembelajaran yang lumayan, tapi belum mampu menyentuh kompetensi yang diharapkan. Harusnya pandemi merupakan waktu yang tepat untuk mengaplikasikan segala bentuk metode belajar yang selama ini saya dapatkan. Tapi kenyataan tidak mampu berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Guru adalah penggerak berlangsungnya pembelajaran, sukses atau tidak pembelajaran yang berlangsung tergantung pada guru. Belum lagi kurikulum yang sepertinya mengharuskan guru untuk mengejar target materi untuk diselesaikan. Padahal sejatinya pembelajaran jarak jauh tetap harus berlandaskan prinsip merdeka belajar dan memanusiakan hubungan. Selain itu guru yang merdeka belajarlah yang sangat dibutuhkan oleh murid-murid untuk bisa merdeka belajar juga.
Hal tersebut membawa saya banyak mencari referensi & praktik baik yang bisa diadopsi. Tidak lupa juga mencari akar permasalahan yang menyebabkan pembelajaran kurang berjalan dengan lancar ketika PJJ. Gayung bersambut, kesempatan baik ditawarkan oleh Komunitas Guru Belajar (KGB) Lamongan. Dimana komunitas ini menawarkan kegiatan webinar yang selama ini saya cari. Kebetulan tema yang diangkat adalah “Asesmen Diagnosis Awal” dengan pemateri Ibu Elisabet Indah Susanti dari Ketua Kampus Guru Cikal.
Dalam pelaksanaan webinar tersebut, peserta sangat antusias atas pemaparan yang beliau sampaikan. Bu Susan mengibaratkan, apa yang dilakukan guru sama dengan apa yang dilakukan dokter. Untuk mengetahui kondisi kesehatan seorang anak secara akurat, dokter melakukan medical check up. Semua organ tubuh anak diperiksa. Dari hasil pemeriksaan itulah dokter membuat diagnosis kondisi kesehatan seorang anak. Kemudian memberikan treatment yang tepat berdasarkan diagnosis tersebut.
Selain itu, untuk melakukan check up kepada murid. Aspek yang diperiksa meliputi sisi kognitif, nonkognitif, emosi, dan lingkungan. Bukan hanya tentang diri murid, kondisi keluarganya juga perlu diketahui. Dari hasil asesmen diagnosis, guru akan mengetahui kebutuhan setiap murid sehingga bisa merancang program belajar yang efektif.
Asesmen diagnosis merupakan asesmen untuk pembelajaran, dan bisa dilaksanakan kapan saja. Bagaimana caranya? Strategi untuk melakukan asesmen diagnosis tergantung pada tujuannya. Ditentukan dulu tujuannya, baru memilih strategi yang tepat. bisa dilakukan melalui wawancara, observasi, kuis, angket, dan lain-lain. Asesmen diagnosis merupakan penilaian yang dilakukan untuk melihat kelemahan murid dan faktor-faktor yang diduga menjadi penyebabnya, dilakukan untuk keperluan pemberian bimbingan belajar dan pengajaran remedial. Sehingga aspek yang dinilai meliputi kemampuan belajar, aspek yang melatarbelakangi kesulitan belajar yang dialami murid, serta berbagai kondisi khusus murid.
Apa yang disampaikan oleh Bu Susan, bisa membuka mata bahwa apa yang saya lakukan selama ini banyak miskonsepsi. Bahwa sebelum murid siap belajar, kita harus mengenal dan mengetahui kondisi murid. Dari situlah saya memulai bergerak dengan melakukan asesmen diagnosis awal pada murid kelas enam. Mulanya banyak penolakan yang terjadi ketika saya melaksanakan, karena dianggap melakukan sesuatu yang sia-sia. Tapi saya pantang menyerah, dan berkeyakinan bahwa setiap usaha pasti mempengaruhi hasil.
Karena tujuan awal saya untuk mengetahui kondisi murid di rumah, maka saya memilih strategi observasi murid dan orang tua melalui wawancara dan pengisian googleform. Saya mengidentifikasi murid dengan menanyakan identitas, aktifitas sehari-hari di rumah, dan motivasi dalam belajar. Untuk keterampilan berkomunikasi saya lakukan proses wawancara melalui telephone. Karena orang tua juga termasuk sasaran, maka saya mengidentifikasi terkait dengan kondisi murid di rumah, fasilitas pendukung, dan kesanggupan orang tua mendampingi murid belajar dan mengumpulkan tugas. Karena tanpa kerjasama orang tua dalam pengumpulan tugas, maka PJJ yang berlangsung tidak akan berhasil. Tapi bukan berarti yang mengerjakan tugas orang tua loh?.
Seiring berjalannya asesmen yang saya lakukan, saya mulai bisa merasakan sejauh mana partisipasi murid dan orang tua. Hal tersebut bisa dilihat dari asesmen yang saya kirimkan kepada mereka. Di awal partisipasi mereka hanya 80% dari 30 murid, jauh dari harapan. Sehingga saya harus mengkonfirmasi terkait hal tersebut, dan akhirnya membuahkan hasil.
Dari hasil yang ada, saya bisa menyimpulkan bahwa pada dasarnya murid tidak dapat menerima materi begitu saja tanpa adanya pengantar materi yang tepat dari guru pada saat PJJ. Itupun masing-masing murid membutuhkan perlakuan yang berbeda, karena pada dasarnya mereka memiliki latar belakang yang berbeda sehingga memerlukan adanya diferensiasi. Bagi orang tua yang sibuk bekerja, mereka tidak bisa mendampingi anaknya secara intensif belajar dalam waktu yang sama. Sehingga kita perlu memberikan kebebasan dalam hal waktu pengumpulan tugas. Belum lagi murid yang tidak memiliki gawai, maka saya harus memilih metode belajar yang tepat agar mereka terlayani.
Dari latar belakang tersebut, saya bisa lebih mengerti dengan kondisi orang tua di masa pandemi. Sehingga sengaja saya bentuk kelompok belajar untuk menyesuaikan dengan kondisi murid di rumah. Selain itu untuk mereka yang tidak memiliki gawai, saya juga sesekali waktu mengadakan guru kunjung kepada kelompok-kelompok tersebut untuk sekedar melakukan refleksi atas pembelajaran yang sudah berlangsung.
Dengan adanya PJJ ini kita dituntut untuk berkolaborasi dengan murid dan orang tua. Sehingga PJJ tetap berjalan dengan baik dari proses maupun hasilnya. Dengan adanya Asesmen diagnosis awal tersebut, secara tidak langsung kita sudah memanusiakan hubungan demi prasyarat esensial dalam perubahan pendidikan.