Sejak beberapa waktu lalu, fenomena klitih di Jogja dan Semarang menjadi sorotan publik. Anak-anak muda yang tergabung dalam kelompok tertentu melakukan kekerasan dengan target acak demi mendapat pengakuan.
Rizqy Rahmat Hani, aktivis pendidikan yang pernah menjadi guru di Pekalongan, mengatakan, remaja memiliki energi yang lebih sehingga membutuhkan tempat agar dapat menyalurkannya dengan baik. Sekolah memiliki peran besar untuk dapat memfasilitasi penyaluran energi tersebut.
“Ketika fungsi sekolah ini tidak berjalan baik, utamanya mungkin karena pandemi ini ya, maka murid cenderung mencari hal-hal lain, mungkin yang dekat dengan rumahnya seperti kumpul-kumpul. Awalnya hanya kumpul-kumpul, lama-lama bisa jadi kegiatan lain, salah satunya klitih tersebut,” kata Ketua Kampus Pemimpin Merdeka itu pada Rabu (13/04/2022).
Rizqy, sapaan akrabnya, menceritakan pengalamannya bagaimana memfasilitasi muridnya yang anak punk untuk berkarya. Alih-alih memarahi dan memintanya keluar dari pergaulan itu, Rizqy justru mengapresiasi cerita muridnya. Ia mengatakan, murid yang merasa dirinya diperhatikan akan lebih mudah diarahkan.
“Inget banget, dulu anak punk itu bikin naskah drama “Punk In Love” dan bagus banget. Salah satu drama terbaik terbaik pada masa itu. Drama itu saya fasilitasi saat pameran karya. Dia mendapatkan apresiasi dari teman-teman sekolahnya. Malah akhirnya ya lebih sering kegiatan di sekolah daripada di luar karena lingkungannya mendukung,” kenangnya.
Perlunya Diagnosis Pada Murid
Tidak hanya pasien, Rizqy menegaskan, murid juga membutuhkan diagnosis. Agar guru mengetahui apa yang menjadi minat atau bahkan masalah masing-masing murid dan tidak terjadi fenomena klitih yang sedang ramai itu.
Pada saat masih mengajar dulu, Ia selalu menyediakan waktu untuk murid-muridnya menulis masalah apa yang sedang mereka alami atau apa saja yang ingin mereka sampaikan.
Rizqy mengungkapkan, dari cara tersebut Ia mendapatkan banyak informasi mengenai muridnya yang sebelumnya sama sekali tidak Ia ketahui termasuk muridnya yang anak punk. Dari situ Ia menyadari bahwa muridnya memiliki keberagaman masalah, keberagaman tantangan, dan keberagaman kebutuhan.
“Saya jadi berpikir bahwa ya ini yang harus difasilitasi. Hasil dari tulisan tersebut saya masukkan ke dalam Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Saya guru Bahasa Indonesia, misalnya tugasnya membuat cerpen atau puisi, sebagai guru tidak lagi mengandalkan tema yang diberikan buku paket atau LKS, tapi tema yang memang dekat dengan murid,” jelas Rizqy.
Pentingnya Pelibatan Orangtua
Berbicara masa pertumbuhan remaja memang tidak bisa dipisahkan dari pentingnya peran orang tua. Rizqy mengatakan, guru seringkali tidak melibatkan orang tua dalam proses belajar anaknya sehingga ketika ada masalah, orang tua cenderung menghindari.
“Banyak ya, ketika kita panggil orang tua yang anaknya melanggar aturan misalnya, mereka tidak percaya karena di rumah anaknya penurut. Ini karena orang tua tidak nyaman sama kita, tidak ada bonding” jelas Rizqy.
Rizqy mengungkapkan, seringkali guru hanya memanggil orang tua murid ketika anaknya nakal di sekolah, ingin membahas terkait SPP, atau saat butuh menyampaikan rapot. Padahal, menurut Rizqy, orang tua harus dilibatkan dalam proses pembelajaran anak secara utuh.
“Libatkan orang tua dalam banyak hal. Misalnya jadi bintang tamu di kelas, diajak kerja bakti, libatkan orang tua ketika bikin pagelaran drama, dan lainnya. Ini juga wujud dari kita memanusiakan hubungan dengan orang tua,” tutupnya. (YMH)
Praktik baik ini telah diliput oleh Radar Pekalongan, klik di sini untuk baca.