3 Alasan Mengapa Harus Tinggalkan Kurikulum 2013

Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi secara resmi meluncurkan Kurikulum Merdeka pada 11 Februari lalu. Kurikulum yang sebelumnya sempat disebut kurikulum prototipe tersebut diterapkan secara bertahap sesuai dengan kesiapan masing-masing sekolah.

Saat ini hingga 2024, sekolah dapat memilih tiga opsi kurikulum yang bisa diimplementasikan, yakni Kurikulum 2013 (K-13), Kurikulum Darurat, dan Kurikulum Merdeka. Kendati demikian, Bukik Setiawan, Ketua Yayasan Guru Belajar, menyarankan agar sekolah segera meninggalkan Kurikulum 2013.

“Setidaknya ada tiga alasan logis mengapa kita harus meninggalkan K-13, yaitu adanya miskonsepsi kompetensi, tuntutan pembelajaran yang terlampau tinggi, serta batasan waktu yang terlalu kaku,” jelasnya.

Aktivis pendidikan yang akrab disapa Bukik tersebut menerangkan, kompetensi merupakan kesatuan antara sikap, pengetahuan, dan keterampilan seseorang untuk melakukan suatu kinerja. Namun, di dalam K-13 ketiganya menjadi komponen penilaian yang terpisah.

Akibatnya proses penilaian menjadi rumit dan menghabiskan energi karena harus membedakan penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Bukik juga menuturkan, K-13 memiliki tujuan pembelajaran yang tidak realistik dan relevan. Pasalnya, terlalu banyak konten yang harus dirampungkan oleh murid. Hingga akhirnya murid hanya belajar menghafal dan tidak memahami apa yang sedang mereka pelajari.

“Anak hanya perlu belajar hal esensial yang sesuai dengan perkembangannya. Relevan dan realistik namun menantang,” tukas Bukik.

Dengan sekian banyak konten pembelajaran, murid pun hanya diberi waktu yang singkat untuk memahaminya. Menyebabkan tidak hanya murid yang menderita ketika belajar tapi juga guru menderita mengajar. Guru terpaksa melanjutkan pembelajaran atau mengejar materi meski tahu muridnya belum menguasai apa yang diajarkan.

“Guru dan satuan pendidikan tidak memiliki keleluasaan untuk menyesuaikan durasi pembelajaran. Setiap tujuan pembelajaran dikunci dalam satuan minggu. Murid yang belum paham hal dasar dipaksa belajar hal yang lebih kompleks,” jelas Bukik.

Apabila belum siap menerapkan Kurikulum Merdeka, Bukik lebih menyarankan agar sekolah menggunakan Kurikulum Darurat. Kurikum ini merupakan K-13 yang telah disederhanakan oleh pemerintah pada awal masa pandemi.

Bukik mengungkapkan hasil riset yang menunjukkan kompetensi pembelajaran murid dengan Kurikulum Darurat jauh lebih baik dari K-13. Skor literasi maupun numerasi meningkat setidaknya 30 poin.

“Guru dan orangtua adalah praktisi pembelajaran. Sedangkan anak adalah pihak yang paling merasakan dampak kurikulum. Pemilihan kurikulum yang tepat dapat menyelamatkan anak-anak kita dari learning loss akibat pandemi COVID-19,” imbuhnya. (YMH)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top